Monday, January 13, 2014

FUNNY EXPERIENCE. . .



“SSSSTTTT........ ada Bang Arif! Kabur, kabur, kabur!”

Bisikan Ijul diikuti langkahnya yang masuk kedalam kamar dengan sigap membingungkanku. Apalagi ketika kemudian ku lihat teman-teman satu asrama melakukan hal yang sama, lompat dari jendela, ngumpat di balik lemari, juga ada yang mematung karena mati langkah. aku? Lari sekencang-kencangnya. Padahal jarak berdiriku dengan Bang Arif sudah berjarak langkah, bukan lagi senti meter, meter, bahkan kilo meter. Ya, bisa dibilang sudah kegap duluan.

Apa peduliku soal kegap atau tidak, keputusan kabur membuatku berlari kencang menuju ke sawit-sawitan, atau lebih tepatnya dibawah pohon salak yang satu2nya tumbuh bergerombolan di lahan perkebunan sawit belakang asrama. Namun, tiba-tiba saja laki-laki sadis itu kulihat keluar dari asrama sambil melempar-lemparkan bantal, selimut, dan setumpuk kain-kain dengan bringas. kemudian berdiri tegap di bawah daun pintu yang terbuka lebar. Matanya melotot. Nafasnya membara. Nafsunya naik turun (eh ndak ding), sementara mulutnya dengan cepat mengangap hendak berteriak.

“Oh......... handsome! There’s a king, ohhh..... no .... no ..... no ......! it’s cool...., it’s a butterfly or meybe ,,, a flower! Yes!!! Awhhh.... no, sssttt.... dia permataku.... bukan rose mu, no.....! bautiful man.... emang ada???? Yessss!!!! Dia kelinciku. . . kelinciku. . ., yes... no.... yes!!! Titik. Wrong, butterfly, king.... no! Yes!! No, wrong again. Yessssssss!!!!”

Sepersekian detik, aku terpaku sesaat, sebelum mulut yang separuh mengaga mengeluarkan suara, atau jeritan lebih tepatnya

So....

Huh... huh .... huh....

Kemudian .....

“Oh tidaaaaaaaaaaakk” batinku.

Kemudian

“AKKKiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiimmmm.... keluar kauuuu.... mau mati kau haaa????”

Aduh, emang nasib kalau sial tidak kemana, akhirnya suara yang kutakutkan itu keluar juga.

“Akkkkiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiimmmmmmmmmm, mau lari kemana kau ha????”

Untuk yang kedua kalinya, aku masih bertahan.

“Akkkkiiiiiiiiiiiiiimmmmm, keluar kauuu..... lihat saja kau nanti, mau mati kau haaaaa????”

‘aduh, kalo mau marah, marah aja dong, bang. Jangan bawa-bawa mati!” aku membatin sekaligus gemetar bersamaan dengan keringat dingin. Aku mulai berhitung dengan waktu. Satu, jika aku keluar pasti aku jadi sasaran tembak. 2 kalau tidak keluar, nanti pasti dikubur hidup-hidup. Belum sempat menghitung detik yang ke-3 teriakan itu keluar lagi.

“AAAAkkkkkiiiiiiiiiiiiiimmmm, tengok kau nanti yaa.........”

‘kampret’ pikirku.

Kemudian.

“ABBBAAAAAAAAANNNNGGGG, ini saya baaaaaaaaaaaaang, Ampun baaaaaaaanggg.....”

Dup.......

Sial!

                                                                                    ***

Sampai sekarang teman-teman masih sering mengolokku dengan kejadian itu. Wajar sih mereka pada meledek. Kami sudah beberapa tahun berteman dan hidup dalam satu asrama. Tapi baru kali itu mereka melihatku di teriaki dan keluar sarang dengan tubuh yang gemetaran.

Dari cerita yang kudengar, konon Bang Arif mantan preman Medan. Bahkan sudah beberapa kali membunuh orang di jalanan. Bahkan banyak yang menyebutkan bahwa dia adalah salah satu peserta pemberontakan PKI pada zamannya. Sampai suatu saat dia insyaf dan menjabat sebagai wakil kepala kesantrian di pondok yang aku labuhi.

Sejak peristiwa itu, aku habis-habisan jadi bahan tawaan satu sekolah, di jahilin ama teman-teman satu asrama. Atau, kalo berpapasan dengan mereka, selalu saja mereka menirukan teriakan itu. ‘AKKKKIIIIMMMM’ kata mereka sambil tertawa-tawa kegirangan.

Sebenarnya Bang Arif orang yang asyik. Suka bercanda. Humor. Juga sedikit jenius (jeniusnya dikit aja sih). Tapi, kalo dia lagi bad mut dan bawaannya pengen marah, dunia sekaan-akan terjadi bencana. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain pasrah, atau mentok-mentoknya kabur ke sawit-sawitan.

Lama kelamaan kami mulai terbiasa dengan situasi rumit seperti itu. Karena waktu yang terus berjalan, ditambah kesibukan belajar, kesadaran akan menjalani peraturan membuat kami lebih dekat dengan sang pujaan hati. Eh? Kok pujaan hati....!

Kami tidak lagi menganggapnya sebagai orang yang patut dihindari, atau ditakuti. Allahu Ma’ana. Allah bersama kami. Itu moto saat membuat masalah dan berhadapan dengan si dia. Resepnya? Gampang! Belikan dia class mild satu slop. Ah, itu ngaco! Yang benar, sami’na wa amalna! Kami dengar dan kami kerjakan. Cie!
Kalaupun kemudian mendapat sasaran tembak dari Bang Arif, tarik nafas dalam-dalam dan.... kedebuk! Tahanlah sakitnya beberapa detik, maka sebentar lagi akan tertawa bersama-sama. Hehe!

                                                                           ***

Hari itu aku benar-benar merasa capek dan letih. Ujian matematika tadi pagi benar-benar bikin punyeng. Saat tiba di asrama, aku yakin bukan hanya aku yang satu-satunya merasa keleyengan dengan soal-soal ujian barusan. Melihat Sabil yang terkapar di atas kasur entah punya siapa. dan Andi yang terus memijit kepalanya sambil sanderan di dinding. Sabar yang cuek menangkup sambil membongkar-bongkar speaker dengan obeng. Atau andika yang terus mencoret-coret kertas dengan kesal. Aku makin yakin kami memang senasib.

Entah karena kesal, pusing, atau lelah sehabis bergadang semalaman. Hampir bersamaan kami semua tertidur pulas di dalam satu kamar setelah makan siang usai.
Hembusan angin sepoi-sepoi kian membuat kami lelap. Untuk beberapa saat semua kekesalan dan keletihan hilang entah kemana. Segalanya terasa begitu tenang. Begitu nyaman. Begitu damai. Sampai saat azan isya berkumandang kami masih belum sadarkan diri. Kemudian,

Kreeeekkk ...

Aku bukan tidak mendengar derit pintu kamar dibuka. Tapi mataku terasa sangat berat. Akhirnya aku cuek dan melanjutkan tidurku. Kupikir, kenapa tidak Sabil saja yang memeriksa, dia kan yang paling dekat degan pintu. Mustahil dia tidak mendengar suara itu.

Kreeekkk ...

Bunyi itu terdengar lagi. Aku masih malas bangkit. Huhh...! ‘terlalu si Sabil!’ pikirku kesal. Habis, lagi asyik-asyik tidur! Lagian siapa sih yang mau masuk gak pake salam. Terlalu!

“Banguuuuuuun”

Ha?

Aku baru melek selebar-lebarnya. ‘Ya Allah. Laki-laki itu’ aku membatin. Kulihat Bang Arif dengan kemeja, celana goyang plus kopiah hitamnya berdiri tegap berkacak pinggang. Matanya melotot. Kakinya sudah maju dua langkah menuju Sabil. Sementara di samping Sabil ada Sabar yang tidur dengan posisi yang aduhai. Menungging. Masya Allaah!

“Hei, bangun! Semua bangun!”

Teriakan Bang Arif berhasil membangunkan Sabil, Sabar, Andi dan Andika.mereka refleks tergopoh-gopoh merapat ke tepi. Persis di tempat posisiku berdiri. Tepi dinding, juga ada jendelanya. Wajah kami sekarang kusut tak karuan. Bingung. Mati langkah. Kegap sudah!

“kab...kab...kabur aja, kabur, lompat jendela” kata andi dengan wajah tanpa dosanya.

‘Astaga andi, emangnya jarak kita dengan Bang Arif itu sejauh apa sih???’ batinku menolak ide dari kepala andi.

Bang Arif yang mendengar perkataan andi sontak bertanya, “Apa Andi?”

“Ngg...ngg....nngggaaak ada, Bang!” jawab andi gagu.

“Apanya yang tidak ada?”

“I...iy....iy....iyyaaaku.....kan.....la...gi...mik....mik....”

“Mikropon?”

“buk....Buk...”

“Mikroskop?”

“Bu,.. Buk...”

“Mike Tyson?”

“Bu...Buk....”

“Buku?”

Heh, kok Bang Arif jadi main tebak-tebakan sama Andi. Lagian si Andi, lagi genting-gentingnya gini, masa gagapnya kumat?

“Suuuu... suuu... suuuudah, jangan takut-taaaakut, sekarang buka je jendelanya, kita lari!” ujar Sabil memberi aba-aba melihat Bang Arif mendekat ke arah kami. Saking tegangnya, penyakit gagap si Andi menular ke Sabil.

Bang Arif seperti tidak mau kehilangan mangsa. Sepersekian detik dia terus mendekat. Besamaan dengan itu, kami satu persatu loncat dan kabur lewat jendela. Dan akhirnya, kamilah pemenangnya.

Urusan lari belum berhenti sampai disini. Kami masih terus berlari menuju kebelakang. Dan ketika persimpangan jalan menuju ke sumur belakang. Kami dengan cepat menyelinap di dalam semak belukar yang berbeda-beda, tapi bersebelahan.

“Sabil.” Suaraku keras igin tahu posisinya.

“Aman.”

“Andika, gimana?” Tanyaku lagi.

“Oke, ah... aku aman” suara Andika ngos-ngosan.

“iy...iyaaa....aku ju....ju...ga...o...ke...oke... Ak....ak...ku bareng Sabar....”

“eeeehhhh, Andi. Udah deh, mending kamu diam aja dari pada bikin kita tambah panik.”

Aku geli sekaligus lega mendengar suara Andi yang terbata-bata. Sambil menenangkan diri, ku terawang ilalang dari kegelapan malam. Coba cari inspirasi (kaya pujangga aja ya. . .). suasana hening sejenak. Tidak ada suara teriakan Bang Arif yang kami dengar. Hanya ada suara jangkrik yang lomba teriak ama kodok.

No comments :

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda di sini. Nggak boleh pelit-pelit. Nanti kuburannya sempit.