Di negeri sebelah, ada dua kalangan utama yang
menjadi penduduk mayoritas negeri tersebut. Kalangan silit dengan kerah putih
dan kepandaiannya dalam mengolah suatu peristiwa, sehingga sepertinya negara
itu menjadi negara yang terlihat sejahtera, aman, makmur dan sentosa.Lain lagi
dengan kalangan sulit, yang merasa tercekik dengan kehidupannya di negeri
miliknya sendiri. Kekayaan, keanekaragaman, dan kemakmuran yang
digembor-gemborkan dan dibaca di berbagai buku pelajaran saat mereka bersekolah
sepertinya hanya cerita dongeng dari negara antah berantah yang bisa diimpikan
dan dibayangkan oleh mereka. Tidak dirasakan.
Kalangan silit, kalangan berdasi dengan kerah putih yang selalu mengutamakan pencitraan dan popularitas. Tidak salah memang jika popularitas mereka didapatkan dengan kredibilitas yang dimiliki. Namun, ketololan yang ada di negeri ini berkata lain. Wajah kalangan yang menyerupai silit, sepertinya telah merambah ke seluruh tubuh dan pikirannya seperti silit juga. Tak ada yang dikeluarkan oleh mereka selain sampah-sampah jorok yang hanya bisa dinikmati dari media lain oleh kalangan sulit. Lalu? Walau hanya mengeluarkan sampah, sepertinya kalangan silit masih diternak di negeri ini dengan sepenuh jiwa raga. Mungkin karena eranya sedang mereka kuasai.
Kalangan sulit, kalangan biasa, bahkan mayoritas di negeri ini yang hanya bisa menikmati makan seadanya. Hanya bisa melihat kalangan kontra-nya di layar kaca, atau hanya bisa membaca argumen dari kalangan silit itu di berbagai media. Argumen pencitraan yang membuat kalangan sulit harus terus bersabar untuk menikmati kesusahan yang makin susah di negeri mereka.
Kalangan silit, kalangan yang menikmati kehidupannya dengan berjuta kemewahan. Pencitraan yang diunggulkan. Namun, itulah yang lebih dihargai di negeri sebelah. Daripada menghargai perjuangan kalangan sulit untuk memperoleh sesuap nasi, rasanya publik di negeri sebelah diarahkan untuk menikmati pergulatan politik, olah kalimat yang disampaikan oleh kalangan silit, tentang berbagai solusi kosong agar bisa menenangkan hati rakyat sulitnya.
Korupsi, kolusi, nepotisme, rasanya menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan silit. Sejuta, dua juta? Rasanya itu hanya receh bagi mereka. Korupsi milyaran, atau bahkan trilyunan, lalu kabur ke luar negeri dan menyuruh koleganya untuk membuat isu di dalam negeri agar mereka aman melenggang. Bukan sesuatu yang sulit. Kalau pun tertangkap, tinggal libas sana-sini dengan dana hasil korupsi, sebulan dua bulan di penjara, itu pun dengan fasilitas hotel mewah, menjadi hal biasa bagi kalangan silit.
Mencuri ayam, digebug massa, nyaris dibakar, dan
badan bopeng, menjadi sesuatu yang dekat dengan para kalangan sulit. Bukan
mereka tak mau berusaha, namun, saking tingginya usaha mereka, hingga keputus
asaan tiba. Melihat kalangan silit menikmati kedigdayaannya, mereka merasa
ketidak adilan ada di depan mata. Namun, hanya inspirasi pencurian yang
dilakukan oleh kalangan silit yang didapat di media. Dan itulah yang membuat
mereka melakukan hal tak sewajarnya, sama-sama mencuri, namun nasib berkata
lain. Mencuri ayam, nyawa terancam, dan penjara yang sebenarnya, jeruji besi
dengan sejuta ketidaknyamanan menjadi taruhannya. Tak tanggung-tanggung, bukan
bulanan, tapi tahunan.
Tak punya jabatan, rasanya bisa diatasi dengan
sejuta relasi yang dibangun diantara kalangan silit. Anak lulus kuliah nyogok,
tak punya keahlian melimpah, namun masih bisa dijadikan anggota DPR. Atau istri
nganggur, daripada foya-foya di arisan, lebih baik memfoya-foyakan Badan Usaha
Milik Negara. Atas dasar relasi, kalangan silit bisa menaikkan keluarganya yang
tolol menjadi pejabat negara.
Tak punya pekerjaan, walau sudah sarjana, rasanya
bisa menjadi ancaman kalangan sulit. Di negeri seberang, rasanya keahlian
menjadi nomor dua untuk diperhatikan. Relasi menjadi hal yang utama. Tak butuh
ilmu tinggi.
Kalangan silit dan sulit, menjadi fenomena aneh di negeri seberang. Dua kalangan dalam satu dunia yang penuh dengan sandiwara. Seperti ada yang mengatur, namun aturannya menjadi sangat abstrak jika ditelusuri. Tak perlu penerawangan untuk melihat dosa kalangan silit, namun kalangan sulit hanya bisa menerawang-nerawang, tak ada yang bisa menggerakkan kesulitan-kesulitan mereka untuk menyilitkan kalangan silit. Memang susah, karena kesilitan yang ada seperti sudah tersistem secara sistemik, adil dan berkesinambungan.
Negeri yang bodoh?
Kalangan silit dan sulit, menjadi fenomena aneh di negeri seberang. Dua kalangan dalam satu dunia yang penuh dengan sandiwara. Seperti ada yang mengatur, namun aturannya menjadi sangat abstrak jika ditelusuri. Tak perlu penerawangan untuk melihat dosa kalangan silit, namun kalangan sulit hanya bisa menerawang-nerawang, tak ada yang bisa menggerakkan kesulitan-kesulitan mereka untuk menyilitkan kalangan silit. Memang susah, karena kesilitan yang ada seperti sudah tersistem secara sistemik, adil dan berkesinambungan.
Negeri yang bodoh?
Memang itu yang bisa disimpulkan. Bangsa yang hanya
bisa dimanja kemakmuran, namun belum ada pergerakan signifikan karena kalangan
penguasa masih sibuk menumpuk harta mereka demi keberlangsungan tujuh turunan
mereka nantinya.
Negeri yang mati?
Mungkin belum, jika kalangan sulit yang telah
tercekik puluhan tahun melepaskan cekikannya itu dengan pergerakkan. Kecil,
namun jika kecil menjadi banyak, dan sadar untuk tidak menyilitkan diri, maka
negeri yang sudah hidup segan mati tak mau ini bisa memiliki nyawa cadangan,
untuk membuat kalangan silit mati, serta kalangan sulit hengkang.
No comments :
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda di sini. Nggak boleh pelit-pelit. Nanti kuburannya sempit.