Thursday, June 12, 2014

SANG PANGLIMA PERANG IRAK Part III

Cerita sebelumnya lihat di : http://hakimwilliam.blogspot.com/2014/06/sang-panglima-perang-irak-part-ii.html

***

Tidak banyak yang tahu kalau Irak menang dalam perperangan melawan Amerika dikomandoi oleh Yong Dolah. Pasalnya, tidak ada media-media dari belahan bumi manapun yang membahas tentang latar belakang kemenangan tersebut. Mereka hanya tahu bahwa Irak menang. Irak sudah terbebas dari jajahan Amerika. Itu saja yang mereka beritakan.

Akhir-akhir ini, atas penuturan langsung dari presiden Sadam Husein, barulah terungkap semuanya. Banyak media-media yang berbondong-bondong mewawancarai Sadam dan ingin tahu akan hal tersebut. Sadam lantas menceritakan semuanya. Tapi ia tidak berani membeberkan identitas Yong Dolah yang telah menjadi pahlawan untuk negaranya. Soalnya, Sadam takut Yong Dolah direpotkan oleh kerumunan-kerumunan wartawan. Belum lagi memikirkan kesibukan-kesibukan yang Yong Dolah miliki. Sadam takut Yong Dolah terganggu nantinya. Jangankan tidur, sampai-sampai makanpun tak bisa karena meladeni wartawan yang terus berdatangan.

Seiring dengan berjalannya waktu, juga wartawan-wartawan yang terus berdatangan hingga membuat Sadam kualahan, akhirnya Sadam Husein dengan berat hati memberi-tahukan identitas Yong Dolah. Dengan syarat, hanya boleh satu orang saja yang mewawancarai Yong Dolah. Kalau wartawan lain ingin tahu juga, tanyakan kepada wartawan yang mewawancarai. Dengan begitu, waktu dan kesibukan Yong 
Dolah tidak akan terganggu.

Setelah para wartawan setuju, Sadam langsung saja memberikan kartu nama Yong Dolah. Hanya ada nama dan nomor telfon. Tidak terdapat alamat di sana.

Atas inisiatif salah satu wartawan dari Hongkong,  Langsung salah seorang dari mereka menelpon dan meminta kesediaan dari Yong Dolah untuk diwawancarai.

Persetujuan mereka dapatkan. Hari, Tanggal, jam, dan Tempat, sudah ditentukan. Ada satu yang membuat mereka kaget dan tidak menyangka. Sebelumnya, banyak dari mereka mengira kalau panglima perang tersebut berasal dari negara yang mempunyai kuasa seperti Rusia, Jerman, Prancis, atau negara terkenal lain. Setelah mereka tahu, ternyata panglima perang yang bernama Yong Dolah berasal dari Indonesia. Dan yang mengejutkan lagi, Yong Dolah berasal dari pedalaman Indonesia, Sungai Pak Neng—daerah yang sering terlupakan. Mungkin sudah tak dianggap oleh Indonesia.

“Oiii, itu kampong saye tu ... ” Kata salah seorang wartawan dari harian Antah Barantah Pekanbaru.

“Aiii ... Betulkah? Ente tidak kibul kami?” timpal seorang wartawan dari Saudi Arabia.

“Iye, kau tak percaya? Coba tanya sama Mak aku, biasanya kalau orang tua-tua kampung kami saling kenal.”

Ijal, wartawan dari harian Antah Barantah tersebut, langsung mengeluarkan ha-pe dari saku celananya. Memencet tombol kipet, mencari kontak “Mama Q”. Lalu, Call.
Terdengar suara nada sambung. Beberapa detik kemudian....

“Halo ...” terdengar suara di seberang.

“Halo, Mak. Ini aku, Ijal. Saye nak tanya sedikit. Boleh?”

“Aiii ... sejak kapan kau tak boleh tanya sama Mak kau ini? Tanyalah selagi bisa bertanya.”

Sebelum lanjut bertanya, Ijal mengaktifkan loud-Speaker ha-penya.

“Begini, Mak. Kan saye nak wawancara orang. Yang nak di wawancara tu orang kampong kita, Sungai Pak Neng. Namanya Yong Dolah.”

“Siape?”

“Yong Dolah! Kenal Mak sama orang tu?”

“Aiii ... Ape pulak tak kenal. Itu Pak Cik engkau, Bahlul!”

‘Oiii, orang tuo ni, main bahlul-bahlul aje’ Ijal mengumpat dalam hati. Tapi, karena tak mau berlama-lama dengan hal yang tidak penting, Ijal lanjut bertanya.

“Betulkah, Mak. Pak Cik yang mane pulak tu?”

“Aiii ... Pak Cik yang selalu kau panggil ‘Yong’, ape kau tak kenal? Dio tu kan adek beghadek samo Pak Solihin, Bapak engkau! Masak kau tak kenal?” Jelas Emak Si Ijal dengan bahasa Melayu totoknya.

“Ooo ... Yong! Kalau Yong saye kenal, Mak. Tapi saye tak tau pulak selame ni kalau nama lengkapnya Yong Dolah.” Jelas Ijal semangat. Senang bukan main karena sudah mengetahui orang yang akan diwawancarai. Sesekali melirik dan menebar senyum ke wartawan lain.

Astaga. Baru saja wajah Ijal memancarkan kesenangan. Sudah disemprot lagi oleh Emaknya.

“Kau itu lah, waktu kecil tak mau mampus, dah besar nyusahkan orang aje. Sama Pak Cik sendiri pun dah tak ingat.”

“Bukan tak ingat, Mak. Lupa!” jawab Ijal enteng. “Dah dulu ye, Mak.”

“Eeeiii” potong Si Emak.

“Saye lagi sibuk...” balas Ijal memotong.

“Eiii ... Ijal.”

“Nanti saya telpon lagi.”

“Tunggu dulu Jal, Oiii ... ”

“Tapi kalau ingat.” Ijal nyengir,

“Anak celako kau, Jal ...”

“Miqum ...”

Tut tut tut tut tut. Telepon terputus.

“Huhh ...!” Ijal merasa lega. “kalian kalau kenal sama Mak saya, bukan main ribut.” Jelas Ijal kepada wartawan lain. “Kalau dia sudah mengomel. Lebih baik lari. Kalau tidak, apa yang ada, itu yang runtuh. Berjam-jam tak kan selesai-selesai.” Lanjutnya.

“Ih ... ih ... ih!” seorang wartawan asal Mesir menggeleng. “Masya Allah ... Ana, ente, wassalaaaam ...”

Wartawan lain juga terkesiap. Shock mendengar Emaknya Ijal—orang Melayu ngomel.

“Haaa ..., kalau begitu, ente sajalah yang wawancara. Nanti hasilnya ente kirimin sama  kita-kita lewat e-mail.” Kata wartawan asal Saudi Arabia, menyadarkan mereka kembali pada tujuan utama. Wawancara.

“Iya ... iya ... setuju!” timpal wartawan lain sambil mengeluarkan secarcik kertas. Lantas, menuliskan alamat email masing-masing.

Setelah menuliskan alamat email masing-masing, segera mereka serahkan kepada Ijal. Mereka sudah sepakat. Ijal pun dengan senang hati, mau. Jadilah yang akan melakukan wawancara adalah Ijal. Wartawan dari harian Antah Barantah Pekanbaru, yang juga keponakan dari Yong Dolah sendiri.

***

Setelah segala sesuatunya selesai, kini tibalah saatnya untuk melakukan wawancara.

Ijal sebagai wartawan harian Antah Barantah Pekanbaru, yang telah ditunjuk untuk melakukan wawancara telah tiba di Sungai Pak Neng. Salah satu daerah perkampungan yang terletak di Kabupaten Bengkalis. Konon katanya, dulu daerah itu pernah menjadi pusat kerajaan melayu terbesar di Riau. Laksamana Raja Di Laot, salah seorang raja yang pernah memimpin. Kalau pernah mendengar lagu “Zapin”-nya Iyet Bustami, tak asing lagi nama raja tersebut. Di sanalah Yong Dolah tinggal, sekaligus juga kampong Ijal sendiri.

Tak mau membuang waktu, Ijal langsung menuju rumah Yong Dolah.

Untuk mencapai rumah Yong Dolah, Ijal harus berjalan terlebih dahulu sekitar satu setengah kilo meter dari jalan besar. Menyusuri jalan setapak. Tak ada mobil lewat. Jalan kaki menjadi satu-satunya alternatif. Maklum sajalah, namanya juga pelosok yang jauh dari ibu kota. Tak tau mau terkenal atau tidak. bekas kerajaan atau kandang ayam, yang namanya kampung tetaplah kampung. Tak pernah diperhatikan.

Setelah berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, tibalah Ijal di depan rumah Yong Dolah.

“Mequm ...” sahut Ijal, mengucapkan salam di depan rumah Yong Dolah.

Tak ada yang menjawab. Rumah tampak kosong. Tak satupun terlihat orang yang ada di dalam rumah. Lengang.

Pintu tak di kunci. Hanya tertutup dari dalam. Tanpa sungkan, karena itu rumah Pak Ciknya sendiri, Ijal memutuskan untuk masuk.

Memang tak seorangpun yang ada di dalam rumah. ruang tamu, kosong. Periksa kamar, kosong. Kamar mandi, kosong. Setelah Ijal melangkah ke dapur, terdengar suara orang menyapu. Rupanya Cik Minah—Istri Yong sedang menyapu di belakang rumah.

“Cik.” Sahut Ijal dari jendela dapur. “Letih aku memanggil tak ada seorangpun yang menyahut.”

“Oi, engkau, Jal. Tak dengar gara Cik lah, Jal. Kapan kau tiba?” Cik Minah meletakkan sapu lidi. Segera ia masuk ke dalam rumah.

“Baru saja, Cik.” Ijal mendekati Cik Minah, mengulurkan tangan, menyalami Cik Minah.

“Sehat kau, Jal?” Tanya Cik Minah.

“Alhamdulillah, kayak gini lah, Cik.” Ijal mengembangkan senyum. Sambil perlahan melepaskan jabat tangan. “Yong mane, Cik?” Ijal kembali bertanya.

“Haaa ... Orang tua tu dari tadi tak ada di rumah. Dia pun pergi tak bilang mau kemana. Biasanya Yong kau tu kalau tak di rumah, duduk di kedai kopi Si Hindun. Pergi lah kau tengok dia di sana.”

“Oh.” Jawab Ijal singkat.

“Ada perlu apa kau sama Yong kau tu, Jal?” Cik Minah bertanya lagi.

“Tak ada apa-apalah Cik. Cuma ada perlu sedikit.” jawab Ijal sekenanya. “Kalau begitu, biarlah saye pergi tengok Yong dulu ya, Cik.”

“Haa, iya!” Cik Minah mempersilahkan.
Ijal melangkah keluar. Langsung menuju kedai kopi Cik Hindun yang jaraknya tiga ratus meter dari rumah Yong Dolah.

Perkampungan sunyi. Kiri kanan jalan lengang. Biasanya kalau siang, sebagian penduduk kampung pergi ke laut untuk mencari ikan. Sebagian lagi ke ladang mengurusi karet atau lahan kelapa sawit. Makanya tampak lengang sekali. Jarang terlihat penduduk berkeliaran.

Begitulah pekerjaan mereka. Tidak ada pabrik. Tidak ada perkantoran. Eh, tapi ada satu kantor di kampung ini. Ya, kantor kepala desa. Jauh lagi di dalam sana. Jaraknya dua kilo meter dari rumah Yong Dolah. Juga ada SD di samping kantor kepala desa. Satu-satunya sekolah yang di bangun tahun 1995.

Setelah berjalan beberapa menit, sampailah Ijal di warung kopi Cik Hindun. Benar saja yang dikatakan Cik Minah. Yong Dolah ada di warung kopi itu.

“Oiii, Yong. Sedap betul nampak.” Ijal menyapa Yong Dolah yang tengah menyeruput kopi hitam dalam cangkir.

 “Oi, Kau, Jal? Lama tak keliahatan batang hidung kau, Oi! Duduk, duduk sini. Nak minum kopi kau, Jal?” Yong Dolah meletakkan cangkir kopinya. Mempersilahkan Ijal duduk dan menawarkan kopi.
Boleh juge.” Jawab Ijal singkat.

Yong Dolah meneriaki Cik Hindun, pemilik warung kopi. Memesan kopi, juga meminta tambah goreng pisang dalam piring.

“Apa kabar, Yong? Payah betul mencari Yong. Sampai di kedai kopi baru jumpa.” Ijal membuka percakapan. Basa-basi.

“Kabar baik. Tak ada Yong kemana-mana. Di warung kopi inilah setiap hari Yong pergi minum kopi. Tapi, sekali-sekali, kapan Yong suntuk di kampong ini, kadang-kadang Yong ke Singapura, Kadang-kadang ke Malaka. Itulah kerja Yong.”

“Ape Yong buat di Singapure, Malaka tu?” Tanya Ijal ingin tahu.

“Tak ada. Palingan pergi makan siang. Kalau tidak pergi buang air saja di sana.” Jelas Yong Dolah di sela-sela menyeruput kopi.

“Oi, berarti banyak duit Yong kalau gitu?”

“Banyak tu tidaklah begitu banyak. Tapi kalau untuk ke luar negeri samo beli pulau Singapura tu masih berlebih duit Yong.”

Ijal terkesiap. Tak percaya dengan apa yang Yong Dolah katakan.

“Dari mana Yong dapatkan duit tu?” tanya Ijal kembali.

“Tak perlu lah Yong ceritakan. Karena, kalau Yong ceritakan memakan waktu bertahun-tahun. Sejak dari Yong kecil, sampai dah tua seperti ini.” Jelas Yong Dolah.

“Di Bank mana Yong menyimpan duit, Yong?” Ijal semakin ingin tahu saja.

“Yong paling tak gemar menyimpan duit di Bank. Yong paling suka nyimpan duit bawah bantal.” Tegas Yong Dolah.

“Oh.” Ijal mengangguk. Entah percaya atau tidak. ngangguk sajalah. Berusaha menjadi pendengar yang baik.

Seketika kopi dan goreng pisang pesanan datang.

“Minum, Jal.” seru Yong Dolah mempersilahkan Ijal meminum kopinya.

Tanpa disuruh dua kali, Ijal mengambil cangkir berisi kopi hitam di hadapannya. Masih panas. Dihembus sedikit, lantas ‘sruuppp’.

Kopi hitam sudah menjadi minuman favorit orang kampung sejak dulu. Rata-rata, setiap penduduk Sungai Pak Neng, mempunyai ritual minum kopi setiap pagi di rumah masing-masing. Kebanyakan sih, laki-laki. Tapi banyak juga emak-emak yang suka. Kalau sedang malas membuat sendiri di rumah, banyak yang datang ke warung-warung kopi. Ada sekitar tiga sampai lima warung kopi di Sungai Pak neng. Tapi yang paling lama dan terkenal, warung kopi Cik Hindun. Sudah go internasional. (hehe)

“Haa, tumben  kau balik ke kampung ni, Jal. Ada perlu apa?” Yong Dolah melanjutkan pembicaraan.

“Begini, Kami dengar kabar, Yong pernah menjadi panglima perang suka-rela membela negara Sadam Husein. Betul itu, Yong?” Ijal membuka pertanyaan.

“Betol!”

“Boleh Yong ceritakan?”

“Boleh la. Kenapa pula tak boleh. Kau ni menyanyah!” Jawab Yong Dolah dengan senang hati. Bersiap untuk menceritakan pengalamannya tersebut.

“Tunggu kejap, Yong.”

Ijal segera membuka tas yang dari tadi ia sandang. Mengeluarkan alat perekam. Menyetel sedikir. Dan memulai wawancara.

“Jadi macam mana ceritanya, Yong?”

“Begini,” Yong Dolah diam sebentar. Mengambil napas. Kemudian melanjutkan.

“Waktu Yong minum kopi di warung ini. Ada anak-anak menjual surat kabar. Entah kenapa, Yong tertarik dengan surat kabar tu. Yong beli satu. Lalu Yong baca halaman demi halaman. Tak sengaja, namapak gara Yong berita tentang perang Irak. Menggelegak hati Yong baca berita tu.”

“Apa pasal, Yong?” potong Ijal.

“Iya lah. Siapa yang tak geram bace berita tu? Anak kehilangan bapak. Istri kehilangan suami. Rumah yang cantik kena bom. Gadis-gadis cantik banyak yang mati. Padahal nikah pun belum. Yang bujang begitu pula. Disebabkan perang itu. Geram betul hati Yong, Yong tinggalkan kopi, lalu Yong balik ke rumah. Yong suruh bini Yong mengemas pakaian. Bini Yong heran. ‘Apa pasal orang tua ni? Buang tabiat?’ kata istri Yong. Yong jawab, ‘Orang perempuan urus sajalah dapur, engkau tu tak tahu ini soal kemanusiaan. Itu Sadam Husein berperang melawan tentara Amerika yang kafir tu!’ mendengar itu, bini Yong pun terdiam. Setelah dikemas semua pakaian, Yong pun segera berangkat.”

“Menggunakan apa Yong berangkat?” Tanya Ijal yang terus mendengarkan.

“Awalnya Yong mau berdayung sampan. Tapi tiba-tiba Yong dapat telpon dari Sadam. Dia bilang, biar dia suruh prajuritnya yang datang jemput Yong. Jadilah Yong berangkat pakai pesawat khusus yang didatangkan Si Sadam. Pesawat tu turun di Lapangan Tugu Bengkalis. Pergi lah Yong ke sana.”

“Tiba di sana, Yong pun naiklah. Gemetar juga hati Yong naik pesawat tu. Bunyi mesinnya saja bukan main kencang. Yong bertambah takut. Dan ketika Yong ketakutan itulah Yong tak sengaja kentut. Setelah Yong melepaskan kentut dari perut, Yong pun sampai depan istana Sadam Husein. Yong disambut hangat oleh Sadam bersama rakyat Irak. Terus dipersilahkan Yong masuk kedalam istananya itu.”

“Dalam istana, Yong bilanglah sama Si Sadam, ‘Dam, kita tak punya waktu banyak. Secepatnya kita harus mengusir tentara Amerika agar berambus dari Irak ini.’ Mendengar semangat Yong yang berapi-api, Saddam langsung menyerahkan tongkat komando perang kepada Yong.”

“Setelah Yong diberikan kepercayaan oleh Saddam, maka Yong pun melakukan pemeriksaan tentara Irak dimedan perang, Yong pun pergilah kegurun pasir. Lima menit kemudian, Yong sampai digurun pasir tempat dimana tentara irak berperang. Ketika Yung melihat tentara Irak hati Yung sedih betul.”

“Kenapa Yong sedih?” Ijal penasaran.

“Sedihlah ... sebab, tentara Irak tidak bersemangat sedikitpun. Yong berpikir bagaimana caranya mengembalikan semangat mereka. Pikir punya pikir, haaa…. dapatlah Yong akal, dengan semangat empat lima, Yong hentam menyanyi lagu potong bebek angsa. Mendengar lagu potong bebek angsa itu, tak lengah tentara Irak langsung tegak.”

“Apa sebabnya Yung?”

“Haaa ...  sebabnya begini, setelah Yong buka catatan Yong dalam Kocek, tenampaklah disitu bahwa tentara Irak sudah seminggu tak makan.”

“Apa hubungan dengan lagu potong bebek angsa, Yong?”

” Begini, mendengar lagu Yong tu, tentara Irak mengira telah perang. Komandan baru mereka, tentulah Yong mereka maksudkan akan menyembelih angsa. Jadi supaya mereka dapat daging itik dan angsa, mereka bergegaslah berperang. Dalam peperangan itu, maaak…maaak…maak! Tentara Irak macam hantu. Menembak sana menembak sini. Pihak musuh banyak mati. pesawat tempur musuh habis macam tepung berderai dari atas. Mendengar kemenangan tentaranya, Sadam Hussein paling suka. Dan sebagai tanda ucapan terima kasihnya, Yong dihadiahkan kain sarung. Dan kain sarung itu, bini Yung pakai sekarang.”

“Setelah perang selesai, apakah tentara Irak meminta bebek dan angsa, Yong. Disana kan tak ada bebek dan angsa?”

“Itulah Yong risaukan. Tapi Yong tak habis akal, Yong diam-diam balik ke Sungai Pak Neng pakai kapal terbang pribadi saddam Hussein tu.”

“Dengan siapa Yong naik pesawat pribadi Saddam tersebut?”

“Seorang sajo untuk apo ramai-ramai.”

“Apa Yong bisa menerbangkan pesawat?” Ijal terus memburu pertanyaan.

“Apo pulak tak bisa, mainan dari kecil tu, Oi! Tapi Yong agak takut juga  kalau Yong balik sendiri. Untung dalam sekejab itu pula ada melintas kapal terbang lain. Yung klakson kapal terbang supaya dekat. Setelah kapal terbang mendekat, Yung cakaplah pada pengemudinya, ‘Hei saudara, boleh pinjam pengemudi serap (Co. Pilot. Red) sekejab,’ kata Yong. ‘Apa pulak salahnya, Yong,’ balas pengemudi tu. Setelah pengemudi serapnya masuk Yong pun tancap gas sampai Bengkalis. Sampai rumah, Yong angkut itik dan angsa Yong ke Irak. Bini Yong marah-marah. Tapi Yong cakap pada bini Yong, ‘ini adalah sedekah.’ Kata Yong. Mendengar sedekah, bini Yong pun diam. Setelah semua dah selesai masuk ke kapal terbang, Yong pun terbanglah ke Irak. Sampai di Irak kami pun berpesta sampai pagi.”

“Dengar - dengar kabar, Yung pernah mengagalkan meledakkan rudal patriot Amerika di irak, bagaimana pulak ceritanya tu Yung?”

“Betul ... Ceritanya begini. Yong buat pengumuman dan Yong sebarkan kepada seluruh rakyat Irak supaya membentangkan kelambu di rumah, kantor dan semuanya dengan jarak antara bumbung dengan bangunan lima meter. Orang tu patuh saja dengan apa yang Yong suruh. Setelah semuanya selesai seperti yang Yong perintahkan, Yong pun duduk tenang dengan Sadam minum kopi dan makan sagu rendang sambil mununggu pasukan Amerika melepaskan rudal. Sadam husien nampak gelisah macam ayam betina hendak betelur. Sekejap tegak, sekejap duduk. Lepas tu, jalan kiri duduk dekat Yong. Kemudian Sadam bertanya kepada Yong,  ‘Yong, berhasil ndak, Yong?’ Yong jawab, ‘tenang-tenang sajalah kau, Dam. Kalau tak berhasil kau balikkan aku ke Bengkalis.’ Kata Yong menenangkan hati Si Sadam.”

“Lima menit sesudah itu, dari jauh terdengar 30 bijik rudal pasukan Amerika dilepaskan. Sadam yang tadi seperti ayam hendak bertelur, berubah macam ayam sakit flu burung. Sedangkan Yong tenang-tenang saja. 10 menit sesudah itu Sadam tersenyum kepada Yong. Lalu Yong dan Sadam meninjau keseluruh kota. Yong tengok 30 bijik rudal Amerika tersangkut atas kelambu yang Yong suruh bentang tadi. Sadam bukan main senang. Dipeluknyo Yong erat-erat.”

“Waktu balik katanya Yong sempat ngebom Amerika?”

“Ya, betul tu. Setelah rudal patriot di kumpulkan, Yong mintak satu pada Saddam, ‘kenang-kenangan untuk anak cucu, Dam.’ Kata Yong. Petang harinya Yong balik pakai pesawat yang menjemput dulu waktu yung berangkat. Yong tak takut lagi naik pesawat karna Yong teringat pado permaisuri Yong di kampong. Perjalanan jadi terasa begitu lama. Yong terus merenung dalam pesawat. Tiba-tiba, kapten pesawat memenggil Yong. ‘Jendral, inilah pulau Amerika itu,’ kato Kapten sambil menunjuk ke bawah. Melihat pulau Amerika itu, Yong teringat akan rudal yang Yong mintak sama Sadam. Yong ambik rudal tu di bagasi dan Yong campakkan ke bawah. Lima menit sesudah itu Amerika tampak berasap. Dalam hati Yong, ‘mudah-mudahan amerika insyaf.’ Tapi sampai sekarang tak insyaf-insyaf. Hendak rasanya Yong mengbom lagi. Tapi ape kan daya Yong dah tua.”

“hahaha....” Ijal tertawa medengar cerita Yong. “Memang tak kesah Yong ni ye.”

Setelah Ijal mendapatkan penjelasan panjang lebar dari Yong tentang pengalaman perangnya membela Irak. Ijal segera menghabiskan kopi. Rencananya setelah ini langsung balik ke tempat kerja. Ijal ingin segera menerbitkan cerita Yong ke redaksi harian antah barantah. Selain itu, dia juga harus mengirimkan email kepada rekan wartawannya dari media lain. masih banyak kerjaan. Jadi Ijal tak bisa berlama-lama.
“Haaa... kalau begitu terima kasih banyak sudah bersedia berbagi cerita, Yong. Saya gerak dulu nak ke kantor.”

“Oi ... kenapa cepat betul?” Yong melotot, mulutnya mengangap.

“Banyak kerja numpuk, Yong. Belum lagi buat naskah hasil wawancara dengan Yong. Kalau cepat selesai kan senang pulak nak diterbitkan.” Jelas Ijal sambil memasukkan kembali alat perekam suara ke dalam tasnya.

Yong Dollah ngangguk. “Iyalah kalau githu.”

“Ini kopi Yong biar saya saja yang bayar, Yong.” Tawar Si Ijal.

“Eh, tak usah lagi. Biar Yong saja bayar sendiri.” jawab Yong menolak.

“Tak apalah Yong.”

“Tak usah.”

“Tak apalah.”

“Yong cakap tak usah...”

Yong dan Ujang saling tarik ulur. Si Ujang menawarkan untuk membayarkan kopi Yong. Yong menolak. Akhirnya Yong pun mengalah. Terpaksalah Yong menerima tawaran Ujang.

“Iyelah kalau begitu. Yong cakap tak usah tapi kau memaksa. Kalau begitu sekalian lah bayarkan utang-utang kopi Yong sekali di kedai ni.”

“Aaiii....Berapa banyak utang kopi Yong?”

“Tunggu sekejap,” segera Yong memanggil Cik Hindun.“Ndun, berapo banyak hutang saya di warung kau ni?”

“Tunggu kejab Yong.”

Cik Hindun mengambil buku catatan di dalam laci. Dan segera menghitung total hutang Yong selama sebulan.

“Tiga ratus tujuh puluh empat ribu Yong.” Teriak Cik Hindun.

“Ha, pergilah kau bayarkan langsung ke Cik Hindun tu.” Yong nyengir, tertawa kecil.

“Alamakkk... utang ape pulak sebanyak ini ni???” Ujang menyesal. Menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.“Kalau tau sebanyak ini, tak kan lah aku tawarkan bayar kopi Yong tadi. Nasib .... nasib!”


No comments :

Post a Comment

Tinggalkan komentar anda di sini. Nggak boleh pelit-pelit. Nanti kuburannya sempit.