Cerita sebelumnya lihat di : http://hakimwilliam.blogspot.com/2014/06/sang-panglima-perang-irak-part-ii.html
***
Tidak
banyak yang tahu kalau Irak menang dalam perperangan melawan Amerika dikomandoi
oleh Yong Dolah. Pasalnya, tidak ada media-media dari belahan bumi manapun yang
membahas tentang latar belakang kemenangan tersebut. Mereka hanya tahu bahwa
Irak menang. Irak sudah terbebas dari jajahan Amerika. Itu saja yang mereka
beritakan.
Akhir-akhir
ini, atas penuturan langsung dari presiden Sadam Husein, barulah terungkap
semuanya. Banyak media-media yang berbondong-bondong mewawancarai Sadam dan
ingin tahu akan hal tersebut. Sadam lantas menceritakan semuanya. Tapi ia tidak
berani membeberkan identitas Yong Dolah yang telah menjadi pahlawan untuk
negaranya. Soalnya, Sadam takut Yong Dolah direpotkan oleh kerumunan-kerumunan
wartawan. Belum lagi memikirkan kesibukan-kesibukan yang Yong Dolah miliki.
Sadam takut Yong Dolah terganggu nantinya. Jangankan tidur, sampai-sampai
makanpun tak bisa karena meladeni wartawan yang terus berdatangan.
Seiring
dengan berjalannya waktu, juga wartawan-wartawan yang terus berdatangan hingga
membuat Sadam kualahan, akhirnya Sadam Husein dengan berat hati memberi-tahukan
identitas Yong Dolah. Dengan syarat, hanya boleh satu orang saja yang
mewawancarai Yong Dolah. Kalau wartawan lain ingin tahu juga, tanyakan kepada
wartawan yang mewawancarai. Dengan begitu, waktu dan kesibukan Yong
Dolah tidak
akan terganggu.
Setelah
para wartawan setuju, Sadam langsung saja memberikan kartu nama Yong Dolah.
Hanya ada nama dan nomor telfon. Tidak terdapat alamat di sana.
Atas
inisiatif salah satu wartawan dari Hongkong,
Langsung salah seorang dari mereka menelpon dan meminta kesediaan dari
Yong Dolah untuk diwawancarai.
Persetujuan
mereka dapatkan. Hari, Tanggal, jam, dan Tempat, sudah ditentukan. Ada satu yang membuat
mereka kaget dan tidak menyangka. Sebelumnya, banyak dari mereka mengira kalau
panglima perang tersebut berasal dari negara yang mempunyai kuasa seperti
Rusia, Jerman, Prancis, atau negara terkenal lain. Setelah mereka tahu,
ternyata panglima perang yang bernama Yong Dolah berasal dari Indonesia. Dan
yang mengejutkan lagi, Yong Dolah berasal dari pedalaman Indonesia, Sungai Pak
Neng—daerah yang sering terlupakan. Mungkin sudah tak dianggap oleh Indonesia.
“Oiii,
itu kampong saye tu ... ” Kata salah seorang wartawan dari harian Antah Barantah
Pekanbaru.
“Aiii
... Betulkah? Ente tidak kibul kami?” timpal seorang wartawan dari Saudi
Arabia.
“Iye,
kau tak percaya? Coba tanya sama Mak aku, biasanya kalau orang tua-tua kampung
kami saling kenal.”
Ijal,
wartawan dari harian Antah Barantah tersebut, langsung mengeluarkan ha-pe dari
saku celananya. Memencet tombol kipet, mencari kontak “Mama Q”. Lalu, Call.
Terdengar
suara nada sambung. Beberapa detik kemudian....
“Halo
...” terdengar suara di seberang.
“Halo,
Mak. Ini aku, Ijal. Saye nak tanya sedikit. Boleh?”
“Aiii
... sejak kapan kau tak boleh tanya sama Mak kau ini? Tanyalah selagi bisa
bertanya.”
Sebelum
lanjut bertanya, Ijal mengaktifkan loud-Speaker
ha-penya.
“Begini,
Mak. Kan saye nak wawancara orang. Yang nak di wawancara tu orang kampong kita,
Sungai Pak Neng. Namanya Yong Dolah.”
“Siape?”
“Yong
Dolah! Kenal Mak sama orang tu?”
“Aiii
... Ape pulak tak kenal. Itu Pak Cik engkau, Bahlul!”
‘Oiii, orang tuo ni, main
bahlul-bahlul aje’ Ijal mengumpat dalam hati.
Tapi, karena tak mau berlama-lama dengan hal yang tidak penting, Ijal lanjut
bertanya.
“Betulkah,
Mak. Pak Cik yang mane pulak tu?”
“Aiii
... Pak Cik yang selalu kau panggil ‘Yong’, ape kau tak kenal? Dio tu kan adek
beghadek samo Pak Solihin, Bapak engkau! Masak kau tak kenal?” Jelas Emak Si
Ijal dengan bahasa Melayu totoknya.
“Ooo
... Yong! Kalau Yong saye kenal, Mak. Tapi saye tak tau pulak selame ni kalau
nama lengkapnya Yong Dolah.” Jelas Ijal semangat. Senang bukan main karena
sudah mengetahui orang yang akan diwawancarai. Sesekali melirik dan menebar
senyum ke wartawan lain.
Astaga.
Baru saja wajah Ijal memancarkan kesenangan. Sudah disemprot lagi oleh Emaknya.
“Kau
itu lah, waktu kecil tak mau mampus, dah besar nyusahkan orang aje. Sama Pak
Cik sendiri pun dah tak ingat.”
“Bukan
tak ingat, Mak. Lupa!” jawab Ijal enteng. “Dah dulu ye, Mak.”
“Eeeiii”
potong Si Emak.
“Saye
lagi sibuk...” balas Ijal memotong.
“Eiii
... Ijal.”
“Nanti
saya telpon lagi.”
“Tunggu
dulu Jal, Oiii ... ”
“Tapi
kalau ingat.” Ijal nyengir,
“Anak
celako kau, Jal ...”
“Miqum
...”
Tut
tut tut tut tut. Telepon terputus.
“Huhh
...!” Ijal merasa lega. “kalian kalau kenal sama Mak saya, bukan main ribut.”
Jelas Ijal kepada wartawan lain. “Kalau dia sudah mengomel. Lebih baik lari.
Kalau tidak, apa yang ada, itu yang runtuh. Berjam-jam tak kan
selesai-selesai.” Lanjutnya.
“Ih
... ih ... ih!” seorang wartawan asal Mesir menggeleng. “Masya Allah ... Ana,
ente, wassalaaaam ...”
Wartawan
lain juga terkesiap. Shock mendengar Emaknya Ijal—orang Melayu ngomel.
“Haaa
..., kalau begitu, ente sajalah yang wawancara. Nanti hasilnya ente kirimin
sama kita-kita lewat e-mail.” Kata
wartawan asal Saudi Arabia, menyadarkan mereka kembali pada tujuan utama.
Wawancara.
“Iya
... iya ... setuju!” timpal wartawan lain sambil mengeluarkan secarcik kertas.
Lantas, menuliskan alamat email masing-masing.
Setelah
menuliskan alamat email masing-masing, segera mereka serahkan kepada Ijal.
Mereka sudah sepakat. Ijal pun dengan senang hati, mau. Jadilah yang akan
melakukan wawancara adalah Ijal. Wartawan dari harian Antah Barantah Pekanbaru,
yang juga keponakan dari Yong Dolah sendiri.
***
Setelah
segala sesuatunya selesai, kini tibalah saatnya untuk melakukan wawancara.
Ijal
sebagai wartawan harian Antah Barantah Pekanbaru, yang telah ditunjuk untuk
melakukan wawancara telah tiba di Sungai Pak Neng. Salah satu daerah
perkampungan yang terletak di Kabupaten Bengkalis. Konon katanya, dulu daerah
itu pernah menjadi pusat kerajaan melayu terbesar di Riau. Laksamana Raja Di
Laot, salah seorang raja yang pernah memimpin. Kalau pernah mendengar lagu
“Zapin”-nya Iyet Bustami, tak asing lagi nama raja tersebut. Di sanalah Yong
Dolah tinggal, sekaligus juga kampong Ijal sendiri.
Tak
mau membuang waktu, Ijal langsung menuju rumah Yong Dolah.
Untuk
mencapai rumah Yong Dolah, Ijal harus berjalan terlebih dahulu sekitar satu
setengah kilo meter dari jalan besar. Menyusuri jalan setapak. Tak ada mobil
lewat. Jalan kaki menjadi satu-satunya alternatif. Maklum sajalah, namanya juga
pelosok yang jauh dari ibu kota. Tak tau mau terkenal atau tidak. bekas
kerajaan atau kandang ayam, yang namanya kampung tetaplah kampung. Tak pernah
diperhatikan.
Setelah
berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, tibalah Ijal di depan rumah
Yong Dolah.
“Mequm
...” sahut Ijal, mengucapkan salam di depan rumah Yong Dolah.
Tak
ada yang menjawab. Rumah tampak kosong. Tak satupun terlihat orang yang ada di
dalam rumah. Lengang.
Pintu
tak di kunci. Hanya tertutup dari dalam. Tanpa sungkan, karena itu rumah Pak
Ciknya sendiri, Ijal memutuskan untuk masuk.
Memang
tak seorangpun yang ada di dalam rumah. ruang tamu, kosong. Periksa kamar,
kosong. Kamar mandi, kosong. Setelah Ijal melangkah ke dapur, terdengar suara
orang menyapu. Rupanya Cik Minah—Istri Yong sedang menyapu di belakang rumah.
“Cik.”
Sahut Ijal dari jendela dapur. “Letih aku memanggil tak ada seorangpun yang
menyahut.”
“Oi,
engkau, Jal. Tak dengar gara Cik lah, Jal. Kapan kau tiba?” Cik Minah
meletakkan sapu lidi. Segera ia masuk ke dalam rumah.
“Baru
saja, Cik.” Ijal mendekati Cik Minah, mengulurkan tangan, menyalami Cik Minah.
“Sehat
kau, Jal?” Tanya Cik Minah.
“Alhamdulillah,
kayak gini lah, Cik.” Ijal mengembangkan senyum. Sambil perlahan melepaskan
jabat tangan. “Yong mane, Cik?” Ijal kembali bertanya.
“Haaa
... Orang tua tu dari tadi tak ada di rumah. Dia pun pergi tak bilang mau
kemana. Biasanya Yong kau tu kalau tak di rumah, duduk di kedai kopi Si Hindun.
Pergi lah kau tengok dia di sana.”
“Oh.”
Jawab Ijal singkat.
“Ada
perlu apa kau sama Yong kau tu, Jal?” Cik Minah bertanya lagi.
“Tak
ada apa-apalah Cik. Cuma ada perlu sedikit.” jawab Ijal sekenanya. “Kalau
begitu, biarlah saye pergi tengok Yong dulu ya, Cik.”
“Haa,
iya!” Cik Minah mempersilahkan.
Ijal
melangkah keluar. Langsung menuju kedai kopi Cik Hindun yang jaraknya tiga
ratus meter dari rumah Yong Dolah.
Perkampungan
sunyi. Kiri kanan jalan lengang. Biasanya kalau siang, sebagian penduduk
kampung pergi ke laut untuk mencari ikan. Sebagian lagi ke ladang mengurusi
karet atau lahan kelapa sawit. Makanya tampak lengang sekali. Jarang terlihat
penduduk berkeliaran.
Begitulah
pekerjaan mereka. Tidak ada pabrik. Tidak ada perkantoran. Eh, tapi ada satu
kantor di kampung ini. Ya, kantor kepala desa. Jauh lagi di dalam sana.
Jaraknya dua kilo meter dari rumah Yong Dolah. Juga ada SD di samping kantor
kepala desa. Satu-satunya sekolah yang di bangun tahun 1995.
Setelah
berjalan beberapa menit, sampailah Ijal di warung kopi Cik Hindun. Benar saja
yang dikatakan Cik Minah. Yong Dolah ada di warung kopi itu.
“Oiii,
Yong. Sedap betul nampak.” Ijal menyapa Yong Dolah yang tengah menyeruput kopi
hitam dalam cangkir.
“Oi,
Kau, Jal? Lama tak keliahatan batang hidung kau, Oi! Duduk, duduk sini. Nak
minum kopi kau, Jal?” Yong Dolah meletakkan cangkir kopinya. Mempersilahkan
Ijal duduk dan menawarkan kopi.
“
Boleh
juge.” Jawab Ijal singkat.
Yong
Dolah meneriaki Cik Hindun, pemilik warung kopi. Memesan kopi, juga meminta
tambah goreng pisang dalam piring.
“Apa
kabar, Yong? Payah betul mencari Yong. Sampai di kedai kopi baru jumpa.” Ijal
membuka percakapan. Basa-basi.
“Kabar
baik. Tak ada Yong kemana-mana. Di warung kopi inilah setiap hari Yong pergi
minum kopi. Tapi, sekali-sekali, kapan Yong suntuk di kampong ini,
kadang-kadang Yong ke Singapura, Kadang-kadang ke Malaka. Itulah kerja Yong.”
“Ape
Yong buat di Singapure, Malaka tu?” Tanya Ijal ingin tahu.
“Tak
ada. Palingan pergi makan siang. Kalau tidak pergi buang air saja di sana.”
Jelas Yong Dolah di sela-sela menyeruput kopi.
“Oi,
berarti banyak duit Yong kalau gitu?”
“Banyak
tu tidaklah begitu banyak. Tapi kalau untuk ke luar negeri samo beli pulau
Singapura tu masih berlebih duit Yong.”
Ijal
terkesiap. Tak percaya dengan apa yang Yong Dolah katakan.
“Dari
mana Yong dapatkan duit tu?” tanya Ijal kembali.
“Tak
perlu lah Yong ceritakan. Karena, kalau Yong ceritakan memakan waktu
bertahun-tahun. Sejak dari Yong kecil, sampai dah tua seperti ini.” Jelas Yong
Dolah.
“Di
Bank mana Yong menyimpan duit, Yong?” Ijal semakin ingin tahu saja.
“Yong
paling tak gemar menyimpan duit di Bank. Yong paling suka nyimpan duit bawah
bantal.” Tegas Yong Dolah.
“Oh.”
Ijal mengangguk. Entah percaya atau tidak. ngangguk sajalah. Berusaha menjadi
pendengar yang baik.
Seketika
kopi dan goreng pisang pesanan datang.
“Minum,
Jal.” seru Yong Dolah mempersilahkan Ijal meminum kopinya.
Tanpa
disuruh dua kali, Ijal mengambil cangkir berisi kopi hitam di hadapannya. Masih
panas. Dihembus sedikit, lantas ‘sruuppp’.
Kopi
hitam sudah menjadi minuman favorit orang kampung sejak dulu. Rata-rata, setiap
penduduk Sungai Pak Neng, mempunyai ritual minum kopi setiap pagi di rumah
masing-masing. Kebanyakan sih, laki-laki. Tapi banyak juga emak-emak yang suka.
Kalau sedang malas membuat sendiri di rumah, banyak yang datang ke
warung-warung kopi. Ada sekitar tiga sampai lima warung kopi di Sungai Pak
neng. Tapi yang paling lama dan terkenal, warung kopi Cik Hindun. Sudah go internasional. (hehe)
“Haa,
tumben kau balik ke kampung ni, Jal. Ada
perlu apa?” Yong Dolah melanjutkan pembicaraan.
“Begini,
Kami dengar kabar, Yong pernah menjadi panglima perang suka-rela membela negara
Sadam Husein. Betul itu, Yong?” Ijal membuka pertanyaan.
“Betol!”
“Boleh
Yong ceritakan?”
“Boleh
la. Kenapa pula tak boleh. Kau ni menyanyah!” Jawab Yong Dolah dengan senang
hati. Bersiap untuk menceritakan pengalamannya tersebut.
“Tunggu
kejap, Yong.”
Ijal
segera membuka tas yang dari tadi ia sandang. Mengeluarkan alat perekam.
Menyetel sedikir. Dan memulai wawancara.
“Jadi
macam mana ceritanya, Yong?”
“Begini,”
Yong Dolah diam sebentar. Mengambil napas. Kemudian melanjutkan.
“Waktu
Yong minum kopi di warung ini. Ada anak-anak menjual surat kabar. Entah kenapa,
Yong tertarik dengan surat kabar tu. Yong beli satu. Lalu Yong baca halaman
demi halaman. Tak sengaja, namapak gara Yong berita tentang perang Irak.
Menggelegak hati Yong baca berita tu.”
“Apa
pasal, Yong?” potong Ijal.
“Iya
lah. Siapa yang tak geram bace berita tu? Anak kehilangan bapak. Istri
kehilangan suami. Rumah yang cantik kena bom. Gadis-gadis cantik banyak yang
mati. Padahal nikah pun belum. Yang bujang begitu pula. Disebabkan perang itu.
Geram betul hati Yong, Yong tinggalkan kopi, lalu Yong balik ke rumah. Yong
suruh bini Yong mengemas pakaian. Bini Yong heran. ‘Apa pasal orang tua ni?
Buang tabiat?’ kata istri Yong. Yong jawab, ‘Orang perempuan urus sajalah
dapur, engkau tu tak tahu ini soal kemanusiaan. Itu Sadam Husein berperang
melawan tentara Amerika yang kafir tu!’ mendengar itu, bini Yong pun terdiam.
Setelah dikemas semua pakaian, Yong pun segera berangkat.”
“Menggunakan
apa Yong berangkat?” Tanya Ijal yang terus mendengarkan.
“Awalnya
Yong mau berdayung sampan. Tapi tiba-tiba Yong dapat telpon dari Sadam. Dia
bilang, biar dia suruh prajuritnya yang datang jemput Yong. Jadilah Yong
berangkat pakai pesawat khusus yang didatangkan Si Sadam. Pesawat tu turun di
Lapangan Tugu Bengkalis. Pergi lah Yong ke sana.”
“Tiba
di sana, Yong pun naiklah. Gemetar juga hati Yong naik pesawat tu. Bunyi
mesinnya saja bukan main kencang. Yong bertambah takut. Dan ketika Yong
ketakutan itulah Yong tak sengaja kentut. Setelah Yong melepaskan kentut dari
perut, Yong pun sampai depan istana Sadam Husein. Yong disambut hangat oleh
Sadam bersama rakyat Irak. Terus dipersilahkan Yong masuk kedalam istananya
itu.”
“Dalam
istana, Yong bilanglah sama Si Sadam, ‘Dam, kita tak punya waktu banyak.
Secepatnya kita harus mengusir tentara Amerika agar berambus dari Irak ini.’ Mendengar
semangat Yong yang berapi-api, Saddam langsung menyerahkan tongkat komando perang
kepada Yong.”
“Setelah
Yong diberikan kepercayaan oleh Saddam, maka Yong pun melakukan pemeriksaan
tentara Irak dimedan perang, Yong pun pergilah kegurun pasir. Lima menit
kemudian, Yong sampai digurun pasir tempat dimana tentara irak berperang.
Ketika Yung melihat tentara Irak hati Yung sedih betul.”
“Kenapa Yong sedih?” Ijal penasaran.
“Sedihlah
... sebab, tentara Irak tidak bersemangat sedikitpun. Yong berpikir bagaimana
caranya mengembalikan semangat mereka. Pikir punya pikir, haaa…. dapatlah Yong akal,
dengan semangat empat lima, Yong hentam menyanyi lagu potong bebek angsa.
Mendengar lagu potong bebek angsa itu, tak lengah tentara Irak langsung tegak.”
“Apa sebabnya Yung?”
“Haaa
... sebabnya begini, setelah Yong buka
catatan Yong dalam Kocek, tenampaklah disitu bahwa tentara Irak sudah seminggu
tak makan.”
“Apa hubungan dengan lagu potong bebek angsa,
Yong?”
”
Begini, mendengar lagu Yong tu, tentara Irak mengira telah perang. Komandan
baru mereka, tentulah Yong mereka maksudkan akan menyembelih angsa. Jadi supaya
mereka dapat daging itik dan angsa, mereka bergegaslah berperang. Dalam
peperangan itu, maaak…maaak…maak! Tentara Irak macam hantu. Menembak sana
menembak sini. Pihak musuh banyak mati. pesawat tempur musuh habis macam tepung
berderai dari atas. Mendengar kemenangan tentaranya, Sadam Hussein paling suka.
Dan sebagai tanda ucapan terima kasihnya, Yong dihadiahkan kain sarung. Dan
kain sarung itu, bini Yung pakai sekarang.”
“Setelah
perang selesai, apakah tentara Irak meminta bebek dan angsa, Yong. Disana kan
tak ada bebek dan angsa?”
“Itulah
Yong risaukan. Tapi Yong tak habis akal, Yong diam-diam balik ke Sungai Pak
Neng pakai kapal terbang pribadi saddam Hussein tu.”
“Dengan siapa Yong naik pesawat pribadi Saddam
tersebut?”
“Seorang sajo untuk apo ramai-ramai.”
“Apa Yong bisa menerbangkan pesawat?” Ijal terus
memburu pertanyaan.
“Apo
pulak tak bisa, mainan dari kecil tu, Oi! Tapi Yong agak takut juga kalau Yong balik sendiri. Untung dalam
sekejab itu pula ada melintas kapal terbang lain. Yung klakson kapal terbang
supaya dekat. Setelah kapal terbang mendekat, Yung cakaplah pada pengemudinya,
‘Hei saudara, boleh pinjam pengemudi serap (Co. Pilot. Red) sekejab,’ kata
Yong. ‘Apa pulak salahnya, Yong,’ balas pengemudi tu. Setelah pengemudi serapnya
masuk Yong pun tancap gas sampai Bengkalis. Sampai rumah, Yong angkut itik dan
angsa Yong ke Irak. Bini Yong marah-marah. Tapi Yong cakap pada bini Yong, ‘ini
adalah sedekah.’ Kata Yong. Mendengar sedekah, bini Yong pun diam. Setelah
semua dah selesai masuk ke kapal terbang, Yong pun terbanglah ke Irak. Sampai
di Irak kami pun berpesta sampai pagi.”
“Dengar
- dengar kabar, Yung pernah mengagalkan meledakkan rudal patriot Amerika di
irak, bagaimana pulak ceritanya tu Yung?”
“Betul
... Ceritanya begini. Yong buat pengumuman dan Yong sebarkan kepada seluruh
rakyat Irak supaya membentangkan kelambu di rumah, kantor dan semuanya dengan
jarak antara bumbung dengan bangunan lima meter. Orang tu patuh saja dengan apa
yang Yong suruh. Setelah semuanya selesai seperti yang Yong perintahkan, Yong
pun duduk tenang dengan Sadam minum kopi dan makan sagu rendang sambil mununggu
pasukan Amerika melepaskan rudal. Sadam husien nampak gelisah macam ayam betina
hendak betelur. Sekejap tegak, sekejap duduk. Lepas tu, jalan kiri duduk dekat
Yong. Kemudian Sadam bertanya kepada Yong,
‘Yong, berhasil ndak, Yong?’ Yong jawab, ‘tenang-tenang sajalah kau,
Dam. Kalau tak berhasil kau balikkan aku ke Bengkalis.’ Kata Yong menenangkan
hati Si Sadam.”
“Lima
menit sesudah itu, dari jauh terdengar 30 bijik rudal pasukan Amerika
dilepaskan. Sadam yang tadi seperti ayam hendak bertelur, berubah macam ayam
sakit flu burung. Sedangkan Yong tenang-tenang saja. 10 menit sesudah itu Sadam
tersenyum kepada Yong. Lalu Yong dan Sadam meninjau keseluruh kota. Yong tengok
30 bijik rudal Amerika tersangkut atas kelambu yang Yong suruh bentang tadi.
Sadam bukan main senang. Dipeluknyo Yong erat-erat.”
“Waktu
balik katanya Yong sempat ngebom Amerika?”
“Ya,
betul tu. Setelah rudal patriot di kumpulkan, Yong mintak satu pada Saddam,
‘kenang-kenangan untuk anak cucu, Dam.’ Kata Yong. Petang harinya Yong balik
pakai pesawat yang menjemput dulu waktu yung berangkat. Yong tak takut lagi
naik pesawat karna Yong teringat pado permaisuri Yong di kampong. Perjalanan
jadi terasa begitu lama. Yong terus merenung dalam pesawat. Tiba-tiba, kapten
pesawat memenggil Yong. ‘Jendral, inilah pulau Amerika itu,’ kato Kapten sambil
menunjuk ke bawah. Melihat pulau Amerika itu, Yong teringat akan rudal yang
Yong mintak sama Sadam. Yong ambik rudal tu di bagasi dan Yong campakkan ke
bawah. Lima menit sesudah itu Amerika tampak berasap. Dalam hati Yong,
‘mudah-mudahan amerika insyaf.’ Tapi sampai sekarang tak insyaf-insyaf. Hendak
rasanya Yong mengbom lagi. Tapi ape kan daya Yong dah tua.”
“hahaha....” Ijal tertawa medengar cerita Yong. “Memang tak kesah
Yong ni ye.”
Setelah Ijal mendapatkan penjelasan panjang lebar dari Yong
tentang pengalaman perangnya membela Irak. Ijal segera menghabiskan kopi.
Rencananya setelah ini langsung balik ke tempat kerja. Ijal ingin segera
menerbitkan cerita Yong ke redaksi harian antah barantah. Selain itu, dia juga
harus mengirimkan email kepada rekan wartawannya dari media lain. masih banyak
kerjaan. Jadi Ijal tak bisa berlama-lama.
“Haaa... kalau begitu terima kasih banyak sudah bersedia berbagi
cerita, Yong. Saya gerak dulu nak ke kantor.”
“Oi ... kenapa cepat betul?” Yong melotot, mulutnya mengangap.
“Banyak kerja numpuk, Yong. Belum lagi buat naskah hasil wawancara
dengan Yong. Kalau cepat selesai kan senang pulak nak diterbitkan.” Jelas Ijal
sambil memasukkan kembali alat perekam suara ke dalam tasnya.
Yong Dollah ngangguk. “Iyalah kalau githu.”
“Ini kopi Yong biar saya saja yang bayar, Yong.” Tawar Si Ijal.
“Eh, tak usah lagi. Biar Yong saja bayar sendiri.” jawab Yong
menolak.
“Tak apalah Yong.”
“Tak usah.”
“Tak apalah.”
“Yong cakap tak usah...”
Yong dan Ujang saling tarik ulur. Si Ujang menawarkan untuk
membayarkan kopi Yong. Yong menolak. Akhirnya Yong pun mengalah. Terpaksalah
Yong menerima tawaran Ujang.
“Iyelah kalau begitu. Yong cakap tak usah tapi kau memaksa. Kalau
begitu sekalian lah bayarkan utang-utang kopi Yong sekali di kedai ni.”
“Aaiii....Berapa banyak utang kopi Yong?”
“Tunggu sekejap,” segera Yong memanggil Cik Hindun.“Ndun, berapo
banyak hutang saya di warung kau ni?”
“Tunggu kejab Yong.”
Cik Hindun mengambil buku catatan di dalam laci. Dan segera
menghitung total hutang Yong selama sebulan.
“Tiga ratus tujuh puluh empat ribu Yong.” Teriak Cik Hindun.
“Ha, pergilah kau bayarkan langsung ke Cik Hindun tu.” Yong
nyengir, tertawa kecil.
“Alamakkk... utang ape pulak sebanyak ini ni???”
Ujang menyesal. Menggaruk kepala yang tidak gatal
sama sekali.“Kalau tau sebanyak ini, tak kan lah aku tawarkan bayar kopi Yong
tadi. Nasib .... nasib!”
No comments :
Post a Comment
Tinggalkan komentar anda di sini. Nggak boleh pelit-pelit. Nanti kuburannya sempit.