“Cinta
adalah suatu bentuk keindahan yang tak dapat dilihat dengan cara apapun.
Melainkan hanya dapat dirasakan dalam setiap hati manusia. Dan sejak aku bertemu
denganmu, aku merasakan itu. Sungguh aku merasakannya. Duhai, Jasminku!”
Cowok yang memiliki rambut ikal itu
tak peduli kalau orang menganggapnya mahasiswa labil. Matanya yang merah karena
seharian di kampus, dan semalaman begadang, masih dipaksakan saja bertenaga memandang sang
pujaan hatinya.
Wajah yang berbentuk oval, alis
gelap yang melengkung, sorot mata yang meyihir, mampu menyeretnya pada pusaran
halilintar. Senyum manis dan gingsul sebelah kanan, semua adalah milik Jasmin.
Pujaan hatinya.
“Kamu matahari. Kamu cahaya!”
“Terus?”
“Kau mengetahui berapa banyak
pujian, Usman? Sungguh. Sungguh tak ada pujian yang cukup untuk sang cinta. Tak
ada kata yang cukup untuk disebut satu persatu. Tak ada ruang yang mampu untuk
menampung semua rasaku padanya.”
Paino memandangi Jasmin sepenuh hati
dalam bayang semunya. Fisiknya yang lelah tak karuan karena terus-menerus memikirkan
Jasmin siang dan malam, membuat matanya sembab. Tapi menatap Jasmin, seperti
ada kekuatan baru yang didapatnya. Mengalir dari mata, merasuk ke hati.
Memompakan jantung lebih cepat. Mengalirkan darah lebih deras. Membuat Paino
seketika merasa lebih kuat. Lebih perkasa. Lebih gagah. Lebih bohay. Lebih ....
hmm ... Tak ada yang bisa membuatnya berhenti memuja gadis itu.
“Tidak ada kata pujian yang cukup
untukmu, adindaku, rinduku, sayangku, cintaku! Jasmin ... ah ... Jasmin.
Jasmin. Jasmin ...”
Paino melantunkan nama Jasmin sudah
seperti zikir saja. Gadis yang baru dikenalnya beberapa minggu ini. Sungguh memberikan pengaruh yang teramat dahsyat.
Paino terpesona. Tersihir. Tergila-gila. Dan akibat dari semua itu, semua yang
dipandangnya berganti rupa menjadi Jasmin.
Tukiyem, pembantu sebelah yang
berjalan, tapi yang dilihatnya Jasmin yang sedang berjalan. Usman yang menepuk
pundaknya, menegur karena ia tak konsen mengikuti kuliah Pak Broto. Bagi Paino,
itulah tepukan sayang Jasmin. Lembut, meski (sebenarnya) kasar. Ibu tukang
warteg yang mengomelinya karena ia terus-terusan ngutang. Tapi suara merdu
Jasmin yang di dengarnya sedang melantunkan syair. Dunia Paino kini berubah
menjadi serba Jasmin. Lirikan. Senyuman. Cara bertutur. Lenggangnya. Semua
milik jasmin.
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk
menulis surat sebagai media penyambung cintanya kepada Jasmin. Surat yang terus
menerus akan ditulis. Setiap hari kalau perlu. Biar Jasmin akan jatuh hati
padanya. Dan mau menerima cintanya.
“Kamu gila, Paino?”
“Biarlah aku gila, kawan. asalkan
dapat Jasmin!” Jawabnya mantap. Ia menganggap teman-temannya sirik dan iri
karena ia ingin mendekati Jasmin. Ah,
masa bodoh. Paino cuek saja jika disebut gila. Tidak dimasukkan ke hati.
Toh, kalau dimasukkan ke hati juga tidak muat. Sudah berapa banyak perkataan
“gila” yang diterimanya. Ratusan, mungkin. Ah, sudah tak terhitung.
“Biasa wae,
Paino. Yang wajar, to!”
Ah,
Usman nggak kenal Jasmin sih! Untunglah. Kalau tidak bisa nambah saingan.
Paino membatin.
Biar sudah punya pacar, kadang-kadang Si Usman suka main senggol dari belakang. Gawat kalau Jasmin sampai jatuh hati pada cowok blasteran Belanda-Jamaika; yang sejak lahir sudah di tanah Jawa itu. Bisa-bisa kalau punya anak; anaknya berkulit pucat dan berambut kriwul ala Indian.
Tapi perjuangan memang tak semudah
membalikkan taplak meja. Teman-teman satu fakultas terus saja mengompori.
Mengatakannya edan. Gendeng. Sinting. Ah... Entahlah! mereka tidak tahu. Mereka
tak bisa merasakan.
“Semua orang pernah jatuh cinta.
Tapi ya tidak seperti kamu, Porno. Eh, Paino!” Usman terus saja menasehati
teman dekatnya itu. Meski kadang Usman suka jahil, tapi ia sangat peduli dengan
Paino.
“Cinta itu apa sih?” jawab Paino
enteng.
“Ciuman Itu Nista Tapi Asyiiikk!
Hihi ...” Seniman jalanan, si Dugil. Ikut-ikutan menceletuk. Paino jelas tidak
terima.
“Kalian sudah pernah kenal
Jasminku?”
Usman, Dugil, dan yang lain menggeleng. Mula-mula ke kanan. Terus ke kiri. Kemudian, La ilaaha illallaah. La ilaaha illallaah. La ilaaha illallaah. La ilaaha illallaah. Zikir bareng!
“Pantas!”
“Apanya?” Usman malah semakin
bingung. Dan Paino dengan senyum ceria segudang cinta meluncurkan kalimat yang
... entah dapat dari mana.
“Kalian belum mengenal wanita kalau
belum mengenal Jasmin!”
“Masa sih?”
“Masasi orang jepang, nama
lengkapnya Masasi Kuzaima.”
“Itu Masasi, oon. Akunya bukan nanya
si Masasi orang Jepang itu. Tapi, masa sih? Dalam kata lain, masa iya? Bbeeeee
...” si Dugil kesal. Melempar gumpalan kertas ke Paino. Yang dilempar nyengir.
terus nyeletuk.
“Hahaha ... makanya, jangan bikin
aku kesal. Memang sih Jasmin tidak secantik Tamara Ble .... Ble ...”
“Blejins ...”
“Iya, Tamara yang namanya susah disebut
itu. Tapi Jasmin lebih indah. Ya, lebih dari sekedar indah.”
“Seputih bintang iklan sabun Dove? Yang kulitnya bening githu?”
Paino menggeleng. Memang tidak. tapi
Jasminnya lebih mempesona. Buktinya ia
belum pernah tuh kasmaran dengan bintang iklan sabun Dove, sabun mandi, sabun cuci, sabun colek. Menurut Paino, semua
masih kalah sama Jasmin!
”Lebih bohai dari artis dangdut yang
kerjanya bikin jalan berlobang?”
Dugil dan yang lain tertawa
mendengar komentar Usman.
“Bikin jalan berlobang gimana?”
“Ya ... itu ... yang goyangnya
ngebor ... hehe.”
Tawa pecah. Membahana. Paras Paino
merah. Berang. Tersinggung Jasminnya disamakan derajatnya dengan artis-artis dangdut
berpakaian murahan. Artis-artis yang pada bikin laki-laki ngiler kalau melihat
pantat montok ngebor ngecor-ngecor. Jasminnya beda. Meski pakaiannya juga
kadang-kadang seksi luar dalam. Pinggulnya tampak sensual. Tapi Jasmin jauh lebih
berkelas.
“Jangan marah dong, Paino. Jadi apa
lebihnya Jasminmu itu?” Usman nyengir. membujuk.
“Iya! Jangan marah. Apa dia anak
anggota DPR?” Dugil menimpali. Paino menggeleng.
“Sudahlah. Kalian tidak akan pernah ngerti.”
“Wong
kamune rak gelem njelaske, gimana mau ngerti.”
Paino beranjak dari tempat duduknya.
Tidak berselera melanjutkan obrolan. Percuma dijelaskan. Jasmin terlalu indah
untuk diterangkan pada orang-orang yang mempunyai selera rendah seperti Usman
dan Dugil. Mending dia pulang dan baring di atas ranjangnya. Dari pada terus-terusan
mendengar komentar-komentar tak jelas. Setidaknya dari atas ranjang ia masih
bisa memandang Jasminnya yang menawan.
Esok, esoknya, dan esok-esoknya lagi,
Paino masih sama, kasmaran. Sebenarnya jatuh cinta itu adalah hal yang biasa.
Tidak tua, tidak muda, semua orang pernah mengalami yang namanya jatuh cinta.
Itu wajar dan biasa. Yang tidak wajar, jika ada bayi baru lahir langsung jatuh
cinta. Dan yang lebih ngeh-nya lagi, itu bayi jatuh cinta sama emaknya. Waduh!
Berabe baget-banget. Kalau bapaknya tidak
cepat-cepat mati, ya meninggal saja. (ha?)
Pada kasus Paino, dampaknya luar biasa. Emak dan Bapaknya kalakapan. Pusing mikirin anak paling besar sekaligus anak bontotnya itu. Ya, dia anak semata wayang. Paino sekarang lebih suka di rumah seharian bersama Jasminnya, dari pada ke kampus. Lebih memilih tidak ikut kuliah yang berumus S+Verb1 dan yang lain, dari pada berhenti menulis surat untuk Jasminnya. Paino lebih memilih tidak keluar kamar. Tidak apa-apa tidak makan, asalkan Paino bisa seharian menatap indahnya wajah cantik Jasmin.
“Padahal dulu Paino tidak pernah
melewati waktu makan ya, Pak.”
“Nggeeehh!” jawab Bapak Paino
pendek, sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Ah ... Jadi pusing aku. Kenapa si
Paino?” Emaknya penasaran, plus hawatir.
“Katanya suka sama cewek.”
“Haaa???” Mata emak mengilat.
“Jangan-jangan anak kita dipelet, Pak. Piye
iki!”
“Waahhh?” Mbah Mus’ad ikut nimbrung.
“Jadine piye?”
Rapat keluargapun diadakan secara
dadakan. Tidak hanya itu. Kelanjutannya, keluarga Paino jadi rajin ngikutin
berbagai pengajian, seminar, terutama yang lebel-nya dekat-dekat sama masalah
mereka. Pelet. Guna-guna. Ilmu pengasihan dan ilmu hitam. Dan salah satu mentor
yang pernah mereka ikuti seminrnya adalah Pak Ustad Guntur Bunyi.
“kalau terbukti cewek itu main pelet
... hmmm ... ndak boleh dong dia begitu. Emang sih anakku si Paino ganteng luar
dalam!” Emak nyerocos. Belakangan Paino memang rajin mandi. Tadinya Cuma
sekali, sekarang bisa dua atau tiga kali dalam sehari. Sehari 24 jam. 1 jam 60
menit. Dan itu artinya 1 menit 60 detik. Lha???
Paino seperti tidak bisa terpisahkan
dari Jasmin. Konyol habis. Mereka tidak bisa membiarkan si Paino kehilangan
harga diri sebagai lelaki. Seharusnya Paino tidak sampai bersimpuh hingga
segitunya mengharap-harap cinta Jasmin. Memujinya dengan dosis melebihi resep
dokter. Menulis surat setiap hari sampai belasan lembar per-harinya.
Apalagi, jasmin kelihatan sangat
jual mahal sekali. Entah berapa harganya, sampai ia tak sedikitpun meladeni
Paino. Sekalipun ia tidak pernah membalas pujian Paino. Apalagi membalas surat
darinya.
“Keterlaluan.” Bentak emak.
“Teeer ... laaa ... lu!” jawab
bapak.
“Hayo ... Shingshingkan lenganmu
kalau kita mau mha ... jhu!” Celetuk si mbah.
“Tul, banget-banget!” Tutup emak.
Ustad Guntur Bunyi, akhirnya
dipanggil juga. Diminta nasehatnya. Tapi boro-boro menolong. Sebagai orang yang
dianggap punya ilmu dan keistimewaan di Nusantara, malah menjawab pendek.
Terkesan matre.
“Waaani, Phiiirrroooo???”
Namun, emaknya jamal yang
sehari-hari dagang tela-tela di kantin kampus bukan tipe yang mudah menyerah.
Berapapun biayanya siap dia keluarkan. Asal si Paino, anak satu-satunya alias
semata wayang, tidak ada gangguan kelamin. Apalagi gangguan jiwa.
“Berapapun biayanya saya bayar. Asal
si Paino bisa sembuh. Peletnya luntur. Nggak kena guna-guna lagi.”
Jadilah Ustad Guntur Bumi menangani
si Paino. Sementara keluarga Paino, kompak berikhtiar.
Paino bukannya makin baikan
ditangani Ustad Guntur, malah kelauannya makin sembrono. Kadang-kadang dia
membaca puisi. Kadang-kadang membaca pantun. Kadang-kadang membaca majalah.
Bersimpuh dengan gaya romeo yang mengharap cinta Juliet. Memainkan gitar dengan
dendang nostalgia. Semua yang dia lakukan ditujukan untuk Jasmin.
“Engkau laksana mawar yang teramat
indah .... engkau laksana syair terus dilantun .. engkaulah bulan ... engkau
matahari. Bintang. Galaksi semesta raya.”
Paino mulai mendendangkan lagu. Pada
lirik syairnya, ditemukan betapa fleksibelnya si Jasmin. Kadang jadi bulan.
Kadang jadi mawar. Kadang jadi bintang. Kadang jadi matahari. Kadang jadi daun
pandan. Ahh!
“Painooo!” teriak Agus dari rumah
sebelah.
“Apa, Gus?”
“Koe musti konsisten dong. Jadi si
Jasmin mawar, matahari, bulan, bintang apa gerobak pasar?”
Paino tersenyum. Di hadapannya,
sosok Jasmin yang ia cintai menatapnya dengan senyum yang begitu manis.
“Jasmin, kau hari ini memakai baju pink. Indah. Nikmat dipandang.”
“Pink?
Emangnya Kue apem?” celetuk si emak, sadar akan sosok Jasmin yang ditatap si
Paino adalah dirinya.
“Ah, Emak! Gangguin saja. Wong aku lagi berduaan karo si Jasmin!”
Perempuan paruh baya itu hanya
mengelus dada. Makin hawatir dengan kondisi Paino yang makin fanatik sama
Jasmin.
Perempuan paruh baya itu lebih dari
tahu kalau soal cinta bisa membawa berkah. Dulu, cintalah yang membawanya pada
bapaknya si Paino. Biar miskin, tapi sikap humoris dan humanis si Bapak sampai
sekarang membuat hatinya cenat-cenut. Cinta.
Tapi, cinta juga membuat si Ntin,
tetangga tiga rumah dari mereka sampai punya jabang bayi tanpa “Bapak”. Ya iyalah,
“Bapak” kan punya emak. Si Ntin kan kawinnya sama si Rustam. Bukan sama
“Bapak”. Jadilah si Ntin punya bayi tanpa “Bapak”. Tapi tuh bayi jadinya punya
papa. Papa Rustam.
***
Tiga bulan berlalu. Paino masih
cinta. Makin cinta. Makin tergila-gila; lebih tepatnya.
Badannya makin kerempeng. Matanya
semakin cukung dan sembab. Rambutnya mulai menipis. Rontok satu persatu mikirin
si Jasmin.
Emak Bapaknya jadi ikutan linglung.
Mbah Mus’ad kehabisan akal. Ustad Guntur lepas tangan—salto. Dijampi sudah. Disembur
sudah. Dibaca-bacain sudah. Disuruh mandi kembang tujuh rupa sudah. Malahan
kembangnya ditambah dua rupa. Jadinya kembang sembilan rupa. Jadi, apanya yang
kurang?
Harusnya, sedikit banyaknya perasaan
paino lebih tenang. Lambat laun bayang-bayang Jasmin dalam pikiran Paino mulai
hilang. Tapi yang terjadi sebaliknya. Bukannya perasaan paino mulai berkurang,
malah semakin menjadi-jadi, tak tergoyahkan. Bagaikan karang. Dihempas sang
ombak berkali-kali tapi masih tetap tegar. Setiap hari kerjaannya hanya
memandang keindahan gadis yang katanya satu kampus, beda jurusan dengannya.
Jasmin, yang pamornya belakangan ini sebagai dara kampus semakin melangit.
Kabarnya gadis itu sekarang rambutnya dikeriting spiral. Lebih modis. Lebih
anggun. Dan kabarnya lagi, sekarang lagi siap-siap mengikuti kontes Miss
Indonesia.
“Jadi gimana toh, Pak ee?” tanya
Emak kepada bapaknya, alias Embahnya Paino.
Mbah Mus’ad mengerutkan kening. Mengusap-usap
jenggotnya yang sudah menjadi uban. Di pojok ruangan, Paino sibuk sendiri. Dari
tadi tidak kelar-kelar menulis. Menulis puisi. Menulis pantun. Terus menulis
surat. Kalau ditanya hanya menjawab pendek.
“Surat, Mbah. Buat Jasmin. Hmm!”
Paino menyunggingkan senyum.
Si Embah membalas senyum.
Mengangguk. Dalam hati mengatakan, “haha.. gila nih anak.”
Emak menghembuskan napas. Pelan.
Mengucap.
“
Makin
pusing aku. buat beli amplop biayane piro? Buat beli kertas. maunya sing wangi.
Buat beli perangko. Muuumet aku!”
“Bilang saja ndak ada uang!”
Rak
iso, Pak ee. Aku ne rak tega. Nanti si Paino ndak mau makan. Terus melamun.
Kalau sudah begitu, yah melamun ndak ada ujung”
Paino bukan tak dengar. Tapi dia cuek
bebek. Biar matanya menatap ke arah emak, bapak, dan Mbah Mus’ad yang lagi
ngalor-ngidul, tapi pikirannya jauh di awan-awan. Melayang.
“Begini saja! Sebulan ini kita
sama-sama coba puasa senin kamis.” Bapak yang dari tadi tampak celingak-celinguk
mikirin sesuatu, mulai angkat suara.
“Terus?” kata Emak minta saran selanjutnya. Tapi kali ini Mbah Mus’ad yang nyahut dan menyambung saran dari bapak.
“Terus kita sama-sama ke rumah Jasmin. Minta dia jangan mainin hati Paino lagi. kalau mau, ya mau. Kalau nggak, ya ... yang tegas githu, toh. Jangan merusak hatine Paino.”
“Ke rumah Jasmin? Ciyus?” sahut Emak.
“Iya! Kalau perlu sekalian bawa hantaran. Jangan ketinggalan cincin emas 24 rakaat. Eh, 24 karat!”
“Opo iyo si Jasmin gelem karo si Paino?” Bapak ragu. Kalau Paino yang dulu sih, boleh-boleh saja. Tapi semenjak kesensem sama Jasmin makin jauh dari harapan. Paino sudah semakin rusak. Rusak jasmani. Rusak rohani. Badan kurus kerempeng. Mata sembab. Pipi cekung. Rambut menipis. Padahal dulunya lebih dari lumayan. Kalau boleh diponten, sih .... dapat ponten 8. Kalau sekarang, Ndok koma ndok, alias NOL BESAR!
Mbah Mus’ad yang masih gagah meski sudah sepuh, menggebrak meja. Bikin semua yang berdiskusi keluarga terperanjat.
“Masalah Jasmin mau atau ndak, belakangan. Sing penting si Paino ada kejelasan. Jangan di PHP-in gthu dong! Sakit!”
“Betul Pak ee..” Emak ikut menimpali. “Si Paino nggak bakalan jadi begitu kalau si Jasmin ngasi jawaban. Kan kasihan si Paino udah kirim surat, mungkin ribuan ada. Mentang-mentang lagi naik daun malah surat si Paino diabaikan!”
Mendengar kata emak, hilang sudah semua keraguan bapak. Jasmin memang keterlaluan. Sudah saatnya minta ketegasan. Kalau perlu, dilamar saja sekalian. Biar Paino nggak digantungin terus-menerus. Biar si Paino juga bisa kembali menikmati indahnya kehidupan.
Maka, persiapan besar-besaran dilakukan. Barang-barang hantaran disiapkan. Kostum kebesaran akan digunakan. Cincin emas 24 karat dipesan. Satu angkot dan satu bus kota disewa untuk hari H. Biaya tentu besar. Tapi keluarga besar siap membantu. Mulai dari bibi, paman, sepupu, embah, nenek, serta keluarga yang lain, siap menjual harta warisan. Mereka iba melihat kondisi Paino yang semakin hari semakin nggak karuan. Kasihan emak, bapak, terutama si Paino.
Semua rencana sudah matang. Persiapan sudah dilakukan. Ketika mencapai puncaknya, tiba-tiba pada hari keberangkatan Paino mendadak jatuh sakit.
“Mak .... Mak .... Paino sakit!” Bapak teriak-teriak melihat Paino terbaring di atas ranjang kamarnya.
“Yang benar, Mas?”
“Bener. Tuh dikamar. Udah kayak orang sekarat.”
Emak Panik. Bangun dari kursi. Terus menyeret sendalnya ke dalam. Di kamar, Paino meringkuk di ranjang. Dahinya panas tinggi. Keringatnya keluar. Badannya menggigil. Seperti orang sekarat, nama Jasmin yang disebutnya. “Min.... Jasmin .... Jasmin ... Ja ... Ja... Jas... Jasmin!”
Angkot dan bus kota yang awalnya disewa untuk mendatangi rumah Jasmin pun ditujukan ke arah lain: Klinik terdekat.
Di klinik, dokter yang memeriksa nyerah. “Harus cek darah di laboratorium. Takutnya demam berdarah!”
Emak panik. Bapak juga. Mbah Mus’ad dari tadi tidak henti-hentinya berzikir. “Allaah... Allaaah... Allaah!”
Angkot dan bus kota jalan lagi. Kali ini ke rumah sakit.
“Aduh ... moga-moga bukan demam berdarah, Mas. Nanti kalau si Paino mati gimana?”
“Huss... kamu itu. Ngomong opo, toh!”
Emak mulai tersedu sedan, nangis. Kulit wajahnya yang kian keriput basah air mata. Mengalir deras seiring bergulirnya detik menjadi menit, menit menjadi jam.
Setelah diperiksa ini itu—yang makan biaya tidak sedikit, baru ketahuan. Paino terkena tipus. Stadium 2. paino harus dirawat. Namanya orang tua, sudah tidak memikirkan biaya lagi. Yang penting anak sehat. Sembuh seperti sedia kala.
Akhirnya, mulailah si Paino dirawat di rumah sakit.
Hari pertama, sementara si mbah menunggu di rumah sakit. Emak dan bapak pulang untuk mengambil keperluan barang-barang yang diperlukan selama di rumah sakit.
Rombongan keluarga besar bubar. Cincin emas 24 karat yang sudah dipesan menganggur. Angkot dan bus kota kembali ke habitatnya semula. Beroperasi mengangkut penumpang bongkotan.
Di rumah, Emak terisak-isak memberesi kamar Paino. Ketika memberesi kamar Paino yang berantakan, ia baru sadar; baru kali ini perempuan paruh baya itu memperhatikan kamar lanangnya. Sambil melipat seimut, memberesi sprei, dan meletakkan bantal rapi-rapi, Emak memunguti majalah-majalah yang tergeletak di lantai. Lalu meletakkannya di meja kayu kusam dan berdebu di samping ranjang.
Kemudian, ketika emak baru mengambil beberapa lembar pakaian di dalam lemari, matanya melihat sesuatu di antara lipatan baju yang sedang di ambilnya. Ragu, tangan perempuan itu meraihnya. Satu persatu. Banyak! Banyak sekali. Tak terhitung!
“Ya ampuuuun!”
Ratusan amplop berisi surat.
Ternyata, selama ini Paino yang rajin menuliskan surat untuk Jasmin, satupun tak pernah ia poskan. Di belakang amplop tertulis: Dari Paino, Untuk cintaku, Jasmin.
Hakim J Ataime
Bunga Jasmine apa bunga Dahlia??
ReplyDeleteHahahaha....
Gubraakkkk.. :D
Makanya, kalau cinta jangan di pendam bae. Jadinya depresi berat dah. Kan kasian..
hiks.. hiks.. hiks... :D
Jasmine apa Dahlia?
DeleteAsyiknya yang mana? hayooo.....!
Hahaha....
Tu lah, si Paino...
kerjaannya mendam perasaan aja...
Lah, di tanya malah nanya
DeleteGimana toh?
Serah ajah deh. Mana baiknya ajah, hehehe :D
lha yang ketemu sama emaknya itu majalah berarti paino naksirnya sama artis dong ya?? gilaa. cintanya ketinggian. terlalu mengagumi, terlalu memuja, jadinya sampai sekarat gitu. udah bikin khawatir orang tua sampe ustad guntur bunyi dibawa-bawa. :D
ReplyDeletehhahaha
Deleteya nggak majalah juga. yang jadi konfliknya dia selama ini nulis surat tapi nggak pernah dipos/dikirim sama si Jasmin.. gthu...
Makasi ya udah mampir....
namanya agak gimana gitu, aku hampir salam baca, aku kira piano ternyata paino hihih
ReplyDeleteItu ustad guntur bunyi bukannya udah di tangkep, kok masih bisa nyembuhin paino?
ini ceritanya jatuh cintaparah banget, emang cowok kalo jatuh cinta sampe segininya yah? baru tau aku hahaha. Jatuh cinta yg merepotkan ternyata, sampe orang tua jadi kebingungan juga
Iya, Ustad Gunturnya kabur lewat jendela tahanan. eh, emang penjara ada jendelanya ya? hihi
DeleteYa tergantung juga. Kalau cowo lugu, barangkali iya... hihi
Hadeehh... Gue pikir bakal jadi cerita romantis gitu, tapi kaget ketika nama2 tokohnya usman, paino dan ada ustad guntur buminya pulakk. Hahahaha xD Koplak!
ReplyDeleteMendem perasaan itu asik2 ajasih, asal jangan berharap yang gak mungkin. Haha
Oalah, asik2 gmn? tuh kan diangkat dari ceritanya bang erik... kwkwk
Deleteweeeeewwwww... sebegitunya kah paino sama jasmin..
ReplyDeletekeren !! jarang bisa lihat cowo bisa buat cerita :D
eh iya mau nanya, vina masih belum mudeng, kok sampai zikir bareng :3
wihhh.. makasiii...
DeleteIya, soalnya kan ada tuh yang waktu lagi zikir sambil gelengin kepala. tuh mereka terobsesi dengan itu....
ha? bener gak sih?
duh....
hahaha
matiiiiih...aku suka banget sama ceritanyaaaaa...aaaakkkk..tapi beneran aku pikir itu tadi bukan surat tapi aku pikir si Paino diem diem nyimpen underwear punya Jasmin saking cintanee...ahhh, tapi aku suka bangett sama ide, diksi dan jalan ceritanya..kamu berbakatttt!!! bagusss!! tapi emang jatuh cinta segitunya yaa??? *udahlupa hahahaha
ReplyDelete