“SSSSTTTT........ ada Bang Arif! Kabur, kabur, kabur!”
Bisikan
Ijul diikuti langkahnya yang masuk kedalam kamar dengan sigap
membingungkanku. Apalagi ketika kemudian ku lihat teman-teman satu
asrama melakukan hal yang sama, lompat dari jendela, ngumpat di balik
lemari, juga ada yang mematung karena mati langkah. aku? Lari
sekencang-kencangnya. Padahal jarak berdiriku dengan Bang Arif sudah
berjarak langkah, bukan lagi senti meter, meter, bahkan kilo meter. Ya,
bisa dibilang sudah kegap duluan.
Apa peduliku soal kegap atau
tidak, keputusan kabur membuatku berlari kencang menuju ke
sawit-sawitan, atau lebih tepatnya dibawah pohon salak yang satu2nya
tumbuh bergerombolan di lahan perkebunan sawit belakang asrama. Namun,
tiba-tiba saja laki-laki sadis itu kulihat keluar dari asrama sambil
melempar-lemparkan bantal, selimut, dan setumpuk kain-kain dengan
bringas. kemudian berdiri tegap di bawah daun pintu yang terbuka lebar.
Matanya melotot. Nafasnya membara. Nafsunya naik turun (eh ndak ding),
sementara mulutnya dengan cepat mengangap hendak berteriak.
“Oh......... handsome! There’s a king, ohhh..... no .... no ..... no
......! it’s cool...., it’s a butterfly or meybe ,,, a flower! Yes!!!
Awhhh.... no, sssttt.... dia permataku.... bukan rose mu, no.....!
bautiful man.... emang ada???? Yessss!!!! Dia kelinciku. . . kelinciku. .
., yes... no.... yes!!! Titik. Wrong, butterfly, king.... no! Yes!! No,
wrong again. Yessssssss!!!!”
Sepersekian detik, aku terpaku sesaat, sebelum mulut yang separuh mengaga mengeluarkan suara, atau jeritan lebih tepatnya
So....
Huh... huh .... huh....
Kemudian .....
“Oh tidaaaaaaaaaaakk” batinku.
Kemudian
“AKKKiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiimmmm.... keluar kauuuu.... mau mati kau haaa????”
Aduh, emang nasib kalau sial tidak kemana, akhirnya suara yang kutakutkan itu keluar juga.
“Akkkkiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiimmmmmmmmmm, mau lari kemana kau ha????”
Untuk yang kedua kalinya, aku masih bertahan.
“Akkkkiiiiiiiiiiiiiimmmmm, keluar kauuu..... lihat saja kau nanti, mau mati kau haaaaa????”
‘aduh, kalo mau marah, marah aja dong, bang. Jangan bawa-bawa mati!”
aku membatin sekaligus gemetar bersamaan dengan keringat dingin. Aku
mulai berhitung dengan waktu. Satu, jika aku keluar pasti aku jadi
sasaran tembak. 2 kalau tidak keluar, nanti pasti dikubur hidup-hidup.
Belum sempat menghitung detik yang ke-3 teriakan itu keluar lagi.
“AAAAkkkkkiiiiiiiiiiiiiimmmm, tengok kau nanti yaa.........”
‘kampret’ pikirku.
Kemudian.
“ABBBAAAAAAAAANNNNGGGG, ini saya baaaaaaaaaaaaang, Ampun baaaaaaaanggg.....”
Dup.......
Sial!
***
Sampai sekarang teman-teman masih sering mengolokku dengan kejadian
itu. Wajar sih mereka pada meledek. Kami sudah beberapa tahun berteman
dan hidup dalam satu asrama. Tapi baru kali itu mereka melihatku di
teriaki dan keluar sarang dengan tubuh yang gemetaran.
Dari
cerita yang kudengar, konon Bang Arif mantan preman Medan. Bahkan sudah
beberapa kali membunuh orang di jalanan. Bahkan banyak yang menyebutkan
bahwa dia adalah salah satu peserta pemberontakan PKI pada zamannya.
Sampai suatu saat dia insyaf dan menjabat sebagai wakil kepala
kesantrian di pondok yang aku labuhi.
Sejak peristiwa itu, aku
habis-habisan jadi bahan tawaan satu sekolah, di jahilin ama teman-teman
satu asrama. Atau, kalo berpapasan dengan mereka, selalu saja mereka
menirukan teriakan itu. ‘AKKKKIIIIMMMM’ kata mereka sambil tertawa-tawa
kegirangan.
Sebenarnya Bang Arif orang yang asyik. Suka
bercanda. Humor. Juga sedikit jenius (jeniusnya dikit aja sih). Tapi,
kalo dia lagi bad mut dan bawaannya pengen marah, dunia sekaan-akan
terjadi bencana. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain pasrah, atau
mentok-mentoknya kabur ke sawit-sawitan.
Lama kelamaan kami
mulai terbiasa dengan situasi rumit seperti itu. Karena waktu yang terus
berjalan, ditambah kesibukan belajar, kesadaran akan menjalani
peraturan membuat kami lebih dekat dengan sang pujaan hati. Eh? Kok
pujaan hati....!
Kami tidak lagi menganggapnya sebagai orang
yang patut dihindari, atau ditakuti. Allahu Ma’ana. Allah bersama kami.
Itu moto saat membuat masalah dan berhadapan dengan si dia. Resepnya?
Gampang! Belikan dia class mild satu slop. Ah, itu ngaco! Yang benar,
sami’na wa amalna! Kami dengar dan kami kerjakan. Cie!
Kalaupun
kemudian mendapat sasaran tembak dari Bang Arif, tarik nafas dalam-dalam
dan.... kedebuk! Tahanlah sakitnya beberapa detik, maka sebentar lagi
akan tertawa bersama-sama. Hehe!
***
Hari itu aku
benar-benar merasa capek dan letih. Ujian matematika tadi pagi
benar-benar bikin punyeng. Saat tiba di asrama, aku yakin bukan hanya
aku yang satu-satunya merasa keleyengan dengan soal-soal ujian barusan.
Melihat Sabil yang terkapar di atas kasur entah punya siapa. dan Andi
yang terus memijit kepalanya sambil sanderan di dinding. Sabar yang
cuek menangkup sambil membongkar-bongkar speaker dengan obeng. Atau
andika yang terus mencoret-coret kertas dengan kesal. Aku makin yakin
kami memang senasib.
Entah karena kesal, pusing, atau lelah
sehabis bergadang semalaman. Hampir bersamaan kami semua tertidur pulas
di dalam satu kamar setelah makan siang usai.
Hembusan angin
sepoi-sepoi kian membuat kami lelap. Untuk beberapa saat semua kekesalan
dan keletihan hilang entah kemana. Segalanya terasa begitu tenang.
Begitu nyaman. Begitu damai. Sampai saat azan isya berkumandang kami
masih belum sadarkan diri. Kemudian,
Kreeeekkk ...
Aku
bukan tidak mendengar derit pintu kamar dibuka. Tapi mataku terasa
sangat berat. Akhirnya aku cuek dan melanjutkan tidurku. Kupikir, kenapa
tidak Sabil saja yang memeriksa, dia kan yang paling dekat degan pintu.
Mustahil dia tidak mendengar suara itu.
Kreeekkk ...
Bunyi itu terdengar lagi. Aku masih malas bangkit. Huhh...! ‘terlalu si
Sabil!’ pikirku kesal. Habis, lagi asyik-asyik tidur! Lagian siapa sih
yang mau masuk gak pake salam. Terlalu!
“Banguuuuuuun”
Ha?
Aku baru melek selebar-lebarnya. ‘Ya Allah. Laki-laki itu’ aku
membatin. Kulihat Bang Arif dengan kemeja, celana goyang plus kopiah
hitamnya berdiri tegap berkacak pinggang. Matanya melotot. Kakinya sudah
maju dua langkah menuju Sabil. Sementara di samping Sabil ada Sabar
yang tidur dengan posisi yang aduhai. Menungging. Masya Allaah!
“Hei, bangun! Semua bangun!”
Teriakan Bang Arif berhasil membangunkan Sabil, Sabar, Andi dan
Andika.mereka refleks tergopoh-gopoh merapat ke tepi. Persis di tempat
posisiku berdiri. Tepi dinding, juga ada jendelanya. Wajah kami sekarang
kusut tak karuan. Bingung. Mati langkah. Kegap sudah!
“kab...kab...kabur aja, kabur, lompat jendela” kata andi dengan wajah tanpa dosanya.
‘Astaga andi, emangnya jarak kita dengan Bang Arif itu sejauh apa sih???’ batinku menolak ide dari kepala andi.
Bang Arif yang mendengar perkataan andi sontak bertanya, “Apa Andi?”
“Ngg...ngg....nngggaaak ada, Bang!” jawab andi gagu.
“Apanya yang tidak ada?”
“I...iy....iy....iyyaaaku.....kan.....la...gi...mik....mik....”
“Mikropon?”
“buk....Buk...”
“Mikroskop?”
“Bu,.. Buk...”
“Mike Tyson?”
“Bu...Buk....”
“Buku?”
Heh, kok Bang Arif jadi main tebak-tebakan sama Andi. Lagian si Andi, lagi genting-gentingnya gini, masa gagapnya kumat?
“Suuuu... suuu... suuuudah, jangan takut-taaaakut, sekarang buka je
jendelanya, kita lari!” ujar Sabil memberi aba-aba melihat Bang Arif
mendekat ke arah kami. Saking tegangnya, penyakit gagap si Andi menular
ke Sabil.
Bang Arif seperti tidak mau kehilangan mangsa.
Sepersekian detik dia terus mendekat. Besamaan dengan itu, kami satu
persatu loncat dan kabur lewat jendela. Dan akhirnya, kamilah
pemenangnya.
Urusan lari belum berhenti sampai disini. Kami
masih terus berlari menuju kebelakang. Dan ketika persimpangan jalan
menuju ke sumur belakang. Kami dengan cepat menyelinap di dalam semak
belukar yang berbeda-beda, tapi bersebelahan.
“Sabil.” Suaraku keras igin tahu posisinya.
“Aman.”
“Andika, gimana?” Tanyaku lagi.
“Oke, ah... aku aman” suara Andika ngos-ngosan.
“iy...iyaaa....aku ju....ju...ga...o...ke...oke... Ak....ak...ku bareng Sabar....”
“eeeehhhh, Andi. Udah deh, mending kamu diam aja dari pada bikin kita tambah panik.”
Aku geli sekaligus lega mendengar suara Andi yang terbata-bata. Sambil
menenangkan diri, ku terawang ilalang dari kegelapan malam. Coba cari
inspirasi (kaya pujangga aja ya. . .). suasana hening sejenak. Tidak ada
suara teriakan Bang Arif yang kami dengar. Hanya ada suara jangkrik
yang lomba teriak ama kodok.